Laman
Bismillahirrahmannirrohom
Kamis, 26 April 2012
SAHABAT
Mempunyai satu sahabat sejati lebih berharga dari seribu teman yang mementingkan diri sendiri.
Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah.
Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan bertumbuh bersama karenanya…
Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi, demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya.
Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur - disakiti, diperhatikan - dikecewakan, didengar - diabaikan, dibantu - ditolak, namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian.
Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya ia memberanikan diri menegur apa adanya.
Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman, tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya mau berubah.
Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih dari orang lain, tetapi justru ia berinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya.
Kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya, karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis. Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya. Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya.
Ingatlah kapan terakhir kali kamu berada dalam kesulitan. Siapa yang berada di samping kamu ?? Siapa yang mengasihi kamu saat kamu merasa tidak dicintai ?? Siapa yang ingin bersama kamu saat kamu tak bisa memberikan apa-apa ??
MEREKALAH SAHABATMU
Hargai dan peliharalah selalu persahabatanmu
Sabtu, 07 April 2012
PENELAAH PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI, PERUMUSAN HIPOTESIS DAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA
PENELAAH PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI, PERUMUSAN HIPOTESIS DAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA
PENELAAH PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI,
PERUMUSAN HIPOTESIS DAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA
1. PENELAAH PUSTAKA
Di dalam suatu penelitian, keberadaan landasan teori (tinjauan pustaka atau telaah pustaka) menjadi keharusan. Penelitian dasar memiliki sebuah ciri khas yaitu kontribusinya pada ilmu (contribution to the body of knowledge). Inilah sebabnya dalam penelitian, kualitas sebuah penelitian ditentukan oleh ada tidaknya kontribusi pada pengembangan teori atau sebuah bagian dari teori dalam bidang minat yang didalami peneliti.
Proses mengembangan teori atau bagian dari teori itu sangat ditentukan oleh intensifnya penelaahan pustaka yang dilakukan. Hasil dari kerja intensif itu adalah munculnya sebuah model teoretikal dasar (Proposed Grand Theoretical Model) maupun model penelitian empiris (Empirical Research Model) yang dihasilkan dari proses penelaahan pustaka yang bermutu.
Telaah pustaka adalah bagian dari proses penelitian yang memberikan beban mental paling berat dalam seluruh rangkaian penelitian ilmiah. Pada dasarnya telaah pustaka dibutuhkan sejak pertama kali seseorang merencanakan akan membuat sebuah penelitian. Penelitian pustaka dan telaah yang mendalam atas pustaka yang dirujuk untuk menemukan bagian mana dari ilmu dan praktek manajemen yang masih membutuhkan adanya sebuah penelitian lanjutan.
Penelitian utamanya diarahkan pada menghasilkan ”contribution to the body of knowledge” tak dapat tidak harus memulai proyek penelitiannya dari telaah pustaka untuk dapat mengungkapkan berbagai “research gap” maupun “theory gap” sebagai awal perjalanan penelitian keilmuannya. Sebuah studi pustaka yang baik akan menghasilkan dasar bagi pengembangan kerangka teoretis yang komprehensif (comprehensive theoretical framework). Untuk tujuan itu sebuah studi pustaka yang baik akan memastikan bahwa:
Studi pustaka yang intensif memungkinkan masalah dan masalah penelitian dapat dirumuskan dengan tepat dan jelas (precision and clarity).
Variabel-variabel penting yang diduga kuat dapat menjelaskan sebuah masalah penelitian benar-benar dapat diperhatikan dan digunakan untuk memecahkan masalah tersebut.
Studi pustaka dapat membantu peneliti menentukan mana variabel yang sangat penting untuk dipertimbangkan dan memberi kontribusi signifikan tanpa perlu menggali seluruh variabel yang mungkin, sehingga asas parsimoni benar-benar diterapkan. Dengan telaah pustaka yang balk berdasarkan asas parsimoni tersebut studi pustaka membantu mengembangkan hipotesis dan kerangka teoretisnya.
Studi pustaka yang intensif, terarah dan terpadu akan menghindarkan peneliti dari fenomena ”reinventing the wheel” dimana peneliti membuang-buang waktu dan energi pikir untuk menemukan kembali apa yang sudah diketahui umum.
Studi pustaka membantu untuk mengenali pemikiran-pemikiran para pioner dalam bidang penelitian yang sama, mendorong untuk mampu menghasilkan alternatif pendekatan yang lain atau mampu memperbaiki ketimpangan pemikiran yang sudah ada dan memperkaya ”body of knowledge” dari bidang yang diminatinya.
Langkah-langkah penting dalam telaah pustaka adalah sebagai berikut:
Cari jenis literatur yang sesuai. Peneliti disarankan menggunakan literatur yang beragam tetapi yang mampu memberikan ”kontribusi baru” dalam studinya. Jurnal-jurnal ilmiah, tesis dan disertasi, scientific reading, proceeding pertemuan ilmiah bidang ilmu dapat memberikan apa yang ingin dicarinya dalam proses telaah pustaka yang dilakukannya.
Cari naskah dari publikasi yang sesuai. Untuk mencari naskah yang sesuai, langkah yang dapat ditempuh adalah naskah yang sesuai dengan peminatan bidang studi. Mahasiswa manajemen pemasaran tentu saja lebih efisien dan efektif disarankan untuk mencari naskah-naskah dari jurnal seperti Strategic Marketing, Journal of Marketing, Journal of Marketing Research, Journal of Marketing Theory and Practice, atau di Indonesia ada Jurnal Sains Pemasaran Indonesia. Dari naskah-naskah ini penelurusan hasil-hasil penelitian dapat dilakukan, sehingga pada tingkat yang sangat dini, mahasiswa sudah dapat menemukan reseach gap dan theory gap yang dapat dijadikan pijakan awal penelitiannya.
Cari naskah dengan variabel yang sesuai. Setelah menemukan masalah buatlah sebuah rancangan awal ”raw draft” atau draft mentah yang dapat dijadikan pijakan awal untuk berburu variabel. Draft mentah ini tidak lain adalah sebuah ”shadow theoretical framework” sebuah model bayangan yang menjadi dasar pertama untuk mencari literatur, menelaah literatur hingga akhirnya sampai pada model final yang menjadi sasaran utama yang dikembangkan. Untuk mendapatkan naskah-naskah rujukan yang baik, kenalilah dulu siapa penulis-penulis atau ilmuwan-ilmuwan utama dalam bidang yang ditulis. Kenalilah pikiran-pikiran mereka dan cobalah mengembangkan variabel-variabel model dari pemikiran mereka atau kombinasi pemikiran mereka.
Buatlah ringkasan dari pemikiran ilmuwan atau peneliti yang dirujuk. Langkah efisien yang dapat disarankan dalam menelaah pustaka adalah baca dan buatlah ringkasan pemikiran yang dipublikasikan seseorang. Ambillah beberapa bahan pustaka rujukan sesuai dengan bidang minat peneliti dan buatlah ringkasannya serta tentukanlah konsep mana dari pustaka yang akan dirujuk untuk ditulis.
Bahaslah atau jelaskan substansi dari konsep atau konstruk penelitian yang digunakan dalam penelitian. Jelaskan makna dari konsep yang diteliti untuk menghantar pembaca pada apa fokus atau batasan dari konstruk tersebut. Definisi tidak perlu untuk dikutip, tetapi yang lebih bentuk adalah penjelasan substansial dari definisi tersebut dan kaitannya dengan seluruh penelitian yang dilakukan.
Carilah pro-kons. Temukanlah berbagai pro dan kontra terhadap issue maupun konsep yang dikembangkan untuk penelitian yang dilakukan, sehingga dari situ dapat dihasilkan sebuah pemikiran baru. Pembahasan berbagai pro ,dan kontra pendapat dan hasil penelitian akan merangsang peneliti untuk menghasilkan pemikiran baru sebagai proposisi atau hipotesis baru sebagai upaya upaya memecahkan masalah penelitiannya. Pembahasan ini dapat disajikan ringkasannya dalam sebuah tabel yang menggambarkan ”State of the art” dari penelitian yang menggunakan variabel tersebut sehingga dapat dilihat perkembangan konsep tersebut dalam suatu rentang waktu yang panjang dari berbagai peneliti yang menaruh perhatian yang sama dalam variabel tersebut.
Kembangkan Proposisi dan Grand Theoretical Model. Atas dasar hasil telaah pustaka yang dilakukan, peneliti dapat mengembangkan proposisi dan dari berbagai proposisi dapatlah dirangkai menjadi sebuah Proposed Grand Theoretical Model atau Model Teoretikal Dasar Yang Diajukan, sebagai model awal dari teori yang akan dikembangkan.
Kembangkan Hipotesis dan Emprical Research Model. Upaya untuk memperjelas dan membumikan proposisi dan proposed grand theoretical model yang dikembangkan, peneliti akan mengembangkan hipotesis-hipotesis penelitian dan dari rangkaian hipotesis tersebut dibentuklah sebuah pemikiran yang utuh disajikan dalam bentuk sebuah model penelitian empiris atau sebuah kerangka pemikiran teoretis.
2. LANDASAN TEORI
Suatu landasan teori dari suatu penelitian tertentu atau karya ilmiah sering juga disebut sebagai studi literatur atau tinjauan pustaka. Salah satu contoh karya tulis yang penting adalah tulisan itu berdasarkan riset. Melalui penelitian atau kajian teori diperoleh kesimpulan-kesimpulan atau pendapat-pendapat para ahli, kemudian dirumuskan pada pendapat baru. Penulis harus belajar dan melatih dirinya untyk mengatasi masalah-masalah yang sulit, bagaimana mengekspresikan semua bahan dari bermacam-macam sumber menjadi suatu karya tulis yang memiliki bobot ilmiah.
Penyajian teori dalam landasan teori dianggap tidak terlalu sulit karena bersumber dari bacaan-bacaan. Akibatnya terjadilah penyajian materi yang tidak proporsional, yaitu mengambil banyak teori walaupun tidak mendasari bidang yang diteliti.Jadi seharusnya teori yang dikemukakan harus benar-benar menjadi dasar bidang yang diteiti. Selain itu, pada bagian ini juga dibahas temuan-temuan penelitian sebelumnya yang terkait langsung dengan penelitian. Teori yang ditulis orang lain atau temuan penelitian orang lain yang dikutip harus disebut sumbernya untuk menghindari tuduhan sebagai pencuru karya orang lain tanpa menyebut sumbernya. Etika ilmiah tidak membenarkan seseorang melakukan pencurian karya orang lain. Cara mengutip karya atau sumber tertulis itu sebagai berikut.
1. Kutipan Langsung
Kutipan langsung ada dua macam, yaitu :
a) Kutipan langsung yang terdiri atas tidak lebih dari 3 baris tau tidak lebih dari 40 kata ditempatkan didalam paragraf sebagaimana baris yang lain, tetapi diapit oleh tanda petik dua (“…”) yang dimulai atau ditutup dengan identitas rujukan.
Contoh :
Tolla (1996:89) menegaskan “Metode CBSA dalam pengajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif seharusnya berbeda denga metode CBSA dalam bidang studi yang lain.”
Cara yang lain adalah “Metode CBSA dalam pengajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif seharusnya berbeda denga metode CBSA dalam bidang studi yang lain.” (Tolla, 1996:89).
b) Kutipan langsung yang terdiri atas lebih dari 3 baris atau lebih dari 40 kata diketik dalam paragraf tersendiri dengan spasi tunggal yang didahului dan ditutup dengan tanda petik dua (“…”) dan dimulai pada ketukan ketujuh.
Contoh :
“Perihal perbedaan metode CBSA dalam pengajaran bahasa harus diwarnai oleh aktivitas berbahasa secara dinamis dan kreatif. Keaktifan secara intelektual tanpa disertai dengan keaktifan verbal tidak dapat dikatakan CBSA dalam pengajaran bahasa karena hakikat bahasa adalah tuturan lisan yang kemudian dikembangkan menjadi aturan lisan dan tulisan. Oleh karena itu, CBSA dalam pengajaran bahasa harus dimuati dengan kreativitas berbahasa sehingga nama yang poaling tepat adalah CBSA Komunikatif.”
2. Kutipan Tidak Langsung
Kutipan tidak langsung umumnya tampil bervariasi; bergantung kepada gaya bahasa penulis. Setiap penulis mempunyai cara sendiri-sendiri mengungkapkan kembali ide atau konsep orang lain didalam tulisannya. Ada penulis yang memberi komentar lebih panjang, tetapi ada yang menyatakannya dengan singkat. Kutipan tidak langsung tidak perlu disertai dengan halaman buku sumber, cukup dengan mencantumkan nama penulis yang diikuti dengan tahun terbitan buku sumber.
Contoh:
Tolla (1996) mengemukakan bahwa metode CBSA dalam pengajaran perlu dibedakan dengan metode CBSA dalam bidang studi yang lain kerena pengajaran bahasa mempunyai karakteristik khusus yang berbeda dengan bidang studi yang lain.
Cara Lain :
Penerapan metode CBSA dalam pengajaran bahasa harus dibedakan dengan penerapannya dalam budang studi yang lain dengan alasan bahwa karakteristik pengajaran bahasa adalah penggunaan bahasa secara dinamis dan kreatif (Tolla, 1996).
3. PERUMUSAN HIPOTESIS
A. Pengertian Hipotesis
Trealese (1960) memberikan definisi hipotesis sebagai suatu keterangan sementara dari suatu fakta yang dapat diamati.
Goog dan Scates (1954) menyatakan bahwa hipotesis adalah sebuah taksiran atau referensi yang dirumuskan serta diterima untuk sementara yang dapat menerangkan fakta-fakta yang diamati ataupun kondisi-kondisi yang diamati dan digunakan sebagai petunjuk untuk langkah-langkah selanjutnya.
Kerlinger (1973) menyatakan hipotesis adalah pernyataan yang bersifat terkaan dari hubungan antara dua atau lebih variabel.
Dari arti katanya, hipotesis memang dari dua penggalan. Kata “HYPO” yang artinya “di bawah” dan “THESA” yang artinya :Kebenaran” jadi hipotesis yang kemudian cara menulisnya disesuaikan dengan ejaan Bahasa Indonesia menjadi hipotesa, dan berkembang menjadi hipotesis.
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih terus diuji secara empiris.
Pengertian hipotesis
· Secara teknis : Pernyataan mengenai populasi yang akan diuji kebenarannya masih harus diuji secara empiris.
· Secara statistik : Pernyataan mengenai keadaan parameter yang akan diuji melalui statistik sampel.
· Secara implisit : Prediksi
B. Kegunaan Hipotesis
Kegunaan hipotesis antara lain sebagai berikut:
1. Hipotesis memberikan penjelasan sementara tentang gejala-gejala serta memudahkan perluasan pengetahuan dalam suatu bidang.
2. Hipotesis memberikan suatu pernyataan hubungan yang langsung dapat diuji dalam penelitian.
3. Hipotesis memberikan arah kepada penelitian.
4. Hipotesis me,berikan kerangka untuk melaporkan kesimpulan penyelidikan.
C. Jenis- jenis hipotesis
Ada dua jenis hipotesis yang digunakan dalam penelitian antara lain :
1. Hipotesis kerja atau alternatif, disingkat Ha, hipotesis kerja menyatakan adanya hubungan antara variabel X dan Y, atau adanya perbedaan antara dua kelompok.
Rumusan hipotesis kerja
a) Jika... Maka...
b) Ada perbedaan antara ... Dan... Dalam
c) Ada pengaruh... Terhadap...
2. Hipotesis nol (null hypoteses) disingkat Ho.
Hipotesis ini menyatakan tidak ada perbedaan antara dua variabel, atau tidak adanya pengaruh variabel X terhadap variabel Y
Rumusanya:
a) Tidak ada perbedaan antara... Dengan... Dalam...
b) Tidak ada pengaruh... Terhadap
Saran untuk memperoleh hipotesis
1. Hipotesis indiktif
Dalam prosedur induktif, penelitian merumuskan hipotesis sebagai suatu generalisasi dari hubungan- hubungan yang diamati.
2. Hipotesis deduktif
Dalam hipotesis ini peneliti dapat memulai penyelidikan dengan memilih salah satu teori yang ada dibidang yang menarik minatnya, setelah teori dipilih, ia lalu menarik hipotesis dari teori ini.
D. Ciri- ciri hipotesis
Ciri- ciri hipotesis yang baik:
1. Hipotesis harus mempunyai daya penjelas
2. Hipotesis harus menyatakan hubungan yang diharapkan ada diantara variabel- variabel
3. Hipotesis harus dapat diuji
4. Hipotesis hendaknya konsistesis dengan pengetahuan yang sudah ada
5. Hipotesis hendaknya diyatakan sesederhana dan seringkas mungkin.
E. Menggali dan merumuskan hipotesis
Dalam menggali hipotesis peneliti harus:
1) Mempunyai banyak informasi tentang masalah yang ingin dipecahkan dengan jalan banyak membaca literatur- literatur yang ada hubunganya dengan penelitian yang sedang dilaksanakan.
2) Mempunyai kemampuan untuk memeriksa keterangan tentang tempat- tempat, objek- objek serta hal- hal yang berhubungan satu sama lain dalam fenomena yang diselidiki.
3) Mempunyai kemampuan untuk menghubungkan suatu keadaan dengan keadaan lainya yang sesuai dengan kerangka teori ilmu dan bidang yang bersangkutan.
Good dan scates memberikan beberapa sumber untuk menggali hipotesis:
1) Ilmu pengetahuan dan pengertian yang mendalam tentang ilmu
2) Wawasan serta pengertian yang mendalam tentang suatu wawasan
3) Imajinasi dan angan- angan
4) Materi bacaan dan literatur
5) Pengetahuan kebiasaan atau kegiatan dalam daerah yang diselidiki
6) Data yang tersedia
7) Kesamaan
Sebagai kesimpulan, maka beberapa petunjuk dalam merumuskan hipotesis dapat diberikan sebagai berikut:
1) Hipotesis harus dirumuskan secara jelas dan padat serta spesik
2) Hipotesis sebaiknya dinyatakan dalam kalimat deklaratif dan berbentuk pernyataan.
3) Hipotesis sebaiknya menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel yang dapat diukur
4) Hendaknya dapat diuji
5) Hipotesis sebaiknya mempunyai kerangka teori.
F. Menguji hipotesis
Sesudah hipotesis dirumuskan, hipotesis tersebut kemudian diuji secara enpiris dan tes logika.
Untuk menguji suatu hipotesis, peneliti harus:
1) Menarik kesimpulan tentang konsekuensi- konsekuensi yang dapat diamati apabila hipotesis tersebut benar.
2) Memilih metode- metode penelitian yang mungkin pengamatan, eksperimental atau prosedur lain yang diperlukan untuk menujukan apakah akibat- akibat tersebut terjadi atau tidak.
3) Menerapkan metode ini serta mengumpuklandata yang dapat dianalisis untuk menujukan apakah hipotesis tersebut didukung oleh data atau tidak.
G. Cara merumuskan hipotesis:
1) Menyatakan pertautan antara dua variabel atau lebih
2) Dinyatakan dalam kalimat deklaratif / pernyataan
3) Dirumuskan secara jelas dan padat
4) Dapat diuji
Jenisnya:
a) Hipotesis tentang hubungan / korelasi
b) Hipotesis tentang perbedaan
Hipotesis nol / Ho = Hipotesis yang menyatakan tidak adanya saling hubungan antara 2 variabel / lebih.
Hipotesis alternatif / HA = Adanya hubungan antar variabel.
4 PENULISAN DAFTAR PUSTAKA
Pengertian Daftar Pustaka adalah suatu daftar yang berisi semua sumber bacaan yang digunakan sebagai bahan acuan dalam penulisan karya ilmiah seperti Makalah, Skripsi, Tugas Akhir, Laporan, Thesis,dan penelitian. Pemilihan daftar pustaka ini harus benar-benar sesuai dengan pokok permasalahan yang dibahas dalam makalah. Mahasiswa, Dosen, Siswa tidak boleh mencantumkan nama/judul buku, artikel/jurnal serta dokumen lainnya baik cetak maupun internet yang tidak tetrdapat dalam daftar pustaka ini.
Berikut ini merupakan contoh dari bagaimana penulisan daftar pustaka pada penulisan makalah, skripsi atau penelitian dan lain sebagainya.
1. Penulisan daftar pustaka dalam pengambilan data dari internet, pertama; tulis nama, kedua; tulis (tahun buku atau tulisan dibuat dalam tanda kurung) setelah itu beri (tanda titik), ketiga; tulis judul buku/tulisannya lalu beri (tanda titik) lagi, keempat; tulis alamat websitenya gunakan kata (from) untuk awal judul web dll setelah itu beri tanda koma, kelima; tulis tanggal pengambilan data tersebut ok. Seperti contoh dibawah ini:
· Albarda (2004). Strategi Implementasi TI untuk Tata Kelola Organisasi (IT Governance). From http://rachdian.com/index2.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=27&Itemid=30, 3 August 2008
2. Penulisan daftar pustaka dalam pengambilan data dari buku, pertama; penulisan nama untuk awal menggunakan huruf besar terlebih dahulu setelah nama belakang ditulis beri (tanda koma), dimulai dari nama belakang lalu beri (tanda koma) dan dilanjutkan dengan nama depan, kedua; tahun pembuatan atau penerbitan buku, ketiga; judul bukunya ingat ditulis dengan mengunakan huruf miring setelah judul gunakan (tanda titik), keempat; tempat diterbitkannya setelah tempat penerbitan gunakan (tanda titik dua), dan kelima; penerbit buku tersebut diakhiri dengan (tanda titik). Seperti contoh dibawah ini:
· Peranginangin, Kasiman (2006). Aplikasi Web dengan PHP dan MySql. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset.
· Soekirno, Harimurti ( 2005). Cara Mudah Menginstall Web Server Berbasis Windows Server 2003. Jakarta: Elex Media Komputindo.
3. Penulisan daftar pustaka yang lebih dari satu/dua orang penulis dalam buku yang sama. Pertama tulis nama belakang dari penulis yang pertama setelah nama belakang beri (tanda koma) lalu tulis nama depan jika nama depan berupa singkatan tulis saja singkatan itu setelah nama pertama selesai beri (tanda titik) lalu beri (tanda koma) untuk nama kedua / ketiga ditulis sama seperti nama sali alis tidak ada perubahan, yang berubah penulisannya hanya orang pertama sedangkan orang kedua dan ketiga tetap. Setelah penulisan nama kedua selesai, nah jika tiga penulis gunakan tanda dan (&) pada nama terakhir begitupula jika penulisnya hanya dua orang saja, setelah penulisan nama selesai, Kedua; tahun pembuatan atau cetakan buku tersebut dengan diawali [tanda kurung buka dan kurung tutup/ ( )] setelah itu beri (tanda titik). Ketiga; judul buku atau karangan setelah itu beri (tanda koma) dan ditulis dengan huruf miring ok. keempat; yaitu penulisan tempat penerbitan/cetakan setelah itu beri (tanda titik dua : ) dan terakhir kelima; nama perusahaan penerbit buku atau tulisan tersebut dan diakhiri (tanda titik) ok. Untuk gelar akademik tidak ditulis dalam penulisan daftar pustaka. Nah ini contohnya Seperti dibawah ini:
· Suteja, B.R., Sarapung, J.A, & Handaya, W.B.T. (2008). Memasuki Dunia E-Learning, Bandung: Penerbit Informatika.
· Whitten, J.L.,Bentley, L.D., Dittman, K.C. (2004). Systems Analysis and Design Methods. Indianapolis: McGraw-Hill Education.
Perlu diingat juga untuk penulisan daftar pustaka yang banyak harus berurutan penulisannya. Nama dari sumber yang diambil sebagai daftar putaka ditulis berdasarkan urutan Abjad dari nama masing-masing tersebut, dimulai dengan Abjad A-Z itulah urutan penulisan daftar pustaka yang baik yaitu sesuai dengan urutan nama-namanya.
Diposkan oleh Nja Nidya di 06:29
PENELAAH PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI,
PERUMUSAN HIPOTESIS DAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA
1. PENELAAH PUSTAKA
Di dalam suatu penelitian, keberadaan landasan teori (tinjauan pustaka atau telaah pustaka) menjadi keharusan. Penelitian dasar memiliki sebuah ciri khas yaitu kontribusinya pada ilmu (contribution to the body of knowledge). Inilah sebabnya dalam penelitian, kualitas sebuah penelitian ditentukan oleh ada tidaknya kontribusi pada pengembangan teori atau sebuah bagian dari teori dalam bidang minat yang didalami peneliti.
Proses mengembangan teori atau bagian dari teori itu sangat ditentukan oleh intensifnya penelaahan pustaka yang dilakukan. Hasil dari kerja intensif itu adalah munculnya sebuah model teoretikal dasar (Proposed Grand Theoretical Model) maupun model penelitian empiris (Empirical Research Model) yang dihasilkan dari proses penelaahan pustaka yang bermutu.
Telaah pustaka adalah bagian dari proses penelitian yang memberikan beban mental paling berat dalam seluruh rangkaian penelitian ilmiah. Pada dasarnya telaah pustaka dibutuhkan sejak pertama kali seseorang merencanakan akan membuat sebuah penelitian. Penelitian pustaka dan telaah yang mendalam atas pustaka yang dirujuk untuk menemukan bagian mana dari ilmu dan praktek manajemen yang masih membutuhkan adanya sebuah penelitian lanjutan.
Penelitian utamanya diarahkan pada menghasilkan ”contribution to the body of knowledge” tak dapat tidak harus memulai proyek penelitiannya dari telaah pustaka untuk dapat mengungkapkan berbagai “research gap” maupun “theory gap” sebagai awal perjalanan penelitian keilmuannya. Sebuah studi pustaka yang baik akan menghasilkan dasar bagi pengembangan kerangka teoretis yang komprehensif (comprehensive theoretical framework). Untuk tujuan itu sebuah studi pustaka yang baik akan memastikan bahwa:
Studi pustaka yang intensif memungkinkan masalah dan masalah penelitian dapat dirumuskan dengan tepat dan jelas (precision and clarity).
Variabel-variabel penting yang diduga kuat dapat menjelaskan sebuah masalah penelitian benar-benar dapat diperhatikan dan digunakan untuk memecahkan masalah tersebut.
Studi pustaka dapat membantu peneliti menentukan mana variabel yang sangat penting untuk dipertimbangkan dan memberi kontribusi signifikan tanpa perlu menggali seluruh variabel yang mungkin, sehingga asas parsimoni benar-benar diterapkan. Dengan telaah pustaka yang balk berdasarkan asas parsimoni tersebut studi pustaka membantu mengembangkan hipotesis dan kerangka teoretisnya.
Studi pustaka yang intensif, terarah dan terpadu akan menghindarkan peneliti dari fenomena ”reinventing the wheel” dimana peneliti membuang-buang waktu dan energi pikir untuk menemukan kembali apa yang sudah diketahui umum.
Studi pustaka membantu untuk mengenali pemikiran-pemikiran para pioner dalam bidang penelitian yang sama, mendorong untuk mampu menghasilkan alternatif pendekatan yang lain atau mampu memperbaiki ketimpangan pemikiran yang sudah ada dan memperkaya ”body of knowledge” dari bidang yang diminatinya.
Langkah-langkah penting dalam telaah pustaka adalah sebagai berikut:
Cari jenis literatur yang sesuai. Peneliti disarankan menggunakan literatur yang beragam tetapi yang mampu memberikan ”kontribusi baru” dalam studinya. Jurnal-jurnal ilmiah, tesis dan disertasi, scientific reading, proceeding pertemuan ilmiah bidang ilmu dapat memberikan apa yang ingin dicarinya dalam proses telaah pustaka yang dilakukannya.
Cari naskah dari publikasi yang sesuai. Untuk mencari naskah yang sesuai, langkah yang dapat ditempuh adalah naskah yang sesuai dengan peminatan bidang studi. Mahasiswa manajemen pemasaran tentu saja lebih efisien dan efektif disarankan untuk mencari naskah-naskah dari jurnal seperti Strategic Marketing, Journal of Marketing, Journal of Marketing Research, Journal of Marketing Theory and Practice, atau di Indonesia ada Jurnal Sains Pemasaran Indonesia. Dari naskah-naskah ini penelurusan hasil-hasil penelitian dapat dilakukan, sehingga pada tingkat yang sangat dini, mahasiswa sudah dapat menemukan reseach gap dan theory gap yang dapat dijadikan pijakan awal penelitiannya.
Cari naskah dengan variabel yang sesuai. Setelah menemukan masalah buatlah sebuah rancangan awal ”raw draft” atau draft mentah yang dapat dijadikan pijakan awal untuk berburu variabel. Draft mentah ini tidak lain adalah sebuah ”shadow theoretical framework” sebuah model bayangan yang menjadi dasar pertama untuk mencari literatur, menelaah literatur hingga akhirnya sampai pada model final yang menjadi sasaran utama yang dikembangkan. Untuk mendapatkan naskah-naskah rujukan yang baik, kenalilah dulu siapa penulis-penulis atau ilmuwan-ilmuwan utama dalam bidang yang ditulis. Kenalilah pikiran-pikiran mereka dan cobalah mengembangkan variabel-variabel model dari pemikiran mereka atau kombinasi pemikiran mereka.
Buatlah ringkasan dari pemikiran ilmuwan atau peneliti yang dirujuk. Langkah efisien yang dapat disarankan dalam menelaah pustaka adalah baca dan buatlah ringkasan pemikiran yang dipublikasikan seseorang. Ambillah beberapa bahan pustaka rujukan sesuai dengan bidang minat peneliti dan buatlah ringkasannya serta tentukanlah konsep mana dari pustaka yang akan dirujuk untuk ditulis.
Bahaslah atau jelaskan substansi dari konsep atau konstruk penelitian yang digunakan dalam penelitian. Jelaskan makna dari konsep yang diteliti untuk menghantar pembaca pada apa fokus atau batasan dari konstruk tersebut. Definisi tidak perlu untuk dikutip, tetapi yang lebih bentuk adalah penjelasan substansial dari definisi tersebut dan kaitannya dengan seluruh penelitian yang dilakukan.
Carilah pro-kons. Temukanlah berbagai pro dan kontra terhadap issue maupun konsep yang dikembangkan untuk penelitian yang dilakukan, sehingga dari situ dapat dihasilkan sebuah pemikiran baru. Pembahasan berbagai pro ,dan kontra pendapat dan hasil penelitian akan merangsang peneliti untuk menghasilkan pemikiran baru sebagai proposisi atau hipotesis baru sebagai upaya upaya memecahkan masalah penelitiannya. Pembahasan ini dapat disajikan ringkasannya dalam sebuah tabel yang menggambarkan ”State of the art” dari penelitian yang menggunakan variabel tersebut sehingga dapat dilihat perkembangan konsep tersebut dalam suatu rentang waktu yang panjang dari berbagai peneliti yang menaruh perhatian yang sama dalam variabel tersebut.
Kembangkan Proposisi dan Grand Theoretical Model. Atas dasar hasil telaah pustaka yang dilakukan, peneliti dapat mengembangkan proposisi dan dari berbagai proposisi dapatlah dirangkai menjadi sebuah Proposed Grand Theoretical Model atau Model Teoretikal Dasar Yang Diajukan, sebagai model awal dari teori yang akan dikembangkan.
Kembangkan Hipotesis dan Emprical Research Model. Upaya untuk memperjelas dan membumikan proposisi dan proposed grand theoretical model yang dikembangkan, peneliti akan mengembangkan hipotesis-hipotesis penelitian dan dari rangkaian hipotesis tersebut dibentuklah sebuah pemikiran yang utuh disajikan dalam bentuk sebuah model penelitian empiris atau sebuah kerangka pemikiran teoretis.
2. LANDASAN TEORI
Suatu landasan teori dari suatu penelitian tertentu atau karya ilmiah sering juga disebut sebagai studi literatur atau tinjauan pustaka. Salah satu contoh karya tulis yang penting adalah tulisan itu berdasarkan riset. Melalui penelitian atau kajian teori diperoleh kesimpulan-kesimpulan atau pendapat-pendapat para ahli, kemudian dirumuskan pada pendapat baru. Penulis harus belajar dan melatih dirinya untyk mengatasi masalah-masalah yang sulit, bagaimana mengekspresikan semua bahan dari bermacam-macam sumber menjadi suatu karya tulis yang memiliki bobot ilmiah.
Penyajian teori dalam landasan teori dianggap tidak terlalu sulit karena bersumber dari bacaan-bacaan. Akibatnya terjadilah penyajian materi yang tidak proporsional, yaitu mengambil banyak teori walaupun tidak mendasari bidang yang diteliti.Jadi seharusnya teori yang dikemukakan harus benar-benar menjadi dasar bidang yang diteiti. Selain itu, pada bagian ini juga dibahas temuan-temuan penelitian sebelumnya yang terkait langsung dengan penelitian. Teori yang ditulis orang lain atau temuan penelitian orang lain yang dikutip harus disebut sumbernya untuk menghindari tuduhan sebagai pencuru karya orang lain tanpa menyebut sumbernya. Etika ilmiah tidak membenarkan seseorang melakukan pencurian karya orang lain. Cara mengutip karya atau sumber tertulis itu sebagai berikut.
1. Kutipan Langsung
Kutipan langsung ada dua macam, yaitu :
a) Kutipan langsung yang terdiri atas tidak lebih dari 3 baris tau tidak lebih dari 40 kata ditempatkan didalam paragraf sebagaimana baris yang lain, tetapi diapit oleh tanda petik dua (“…”) yang dimulai atau ditutup dengan identitas rujukan.
Contoh :
Tolla (1996:89) menegaskan “Metode CBSA dalam pengajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif seharusnya berbeda denga metode CBSA dalam bidang studi yang lain.”
Cara yang lain adalah “Metode CBSA dalam pengajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif seharusnya berbeda denga metode CBSA dalam bidang studi yang lain.” (Tolla, 1996:89).
b) Kutipan langsung yang terdiri atas lebih dari 3 baris atau lebih dari 40 kata diketik dalam paragraf tersendiri dengan spasi tunggal yang didahului dan ditutup dengan tanda petik dua (“…”) dan dimulai pada ketukan ketujuh.
Contoh :
“Perihal perbedaan metode CBSA dalam pengajaran bahasa harus diwarnai oleh aktivitas berbahasa secara dinamis dan kreatif. Keaktifan secara intelektual tanpa disertai dengan keaktifan verbal tidak dapat dikatakan CBSA dalam pengajaran bahasa karena hakikat bahasa adalah tuturan lisan yang kemudian dikembangkan menjadi aturan lisan dan tulisan. Oleh karena itu, CBSA dalam pengajaran bahasa harus dimuati dengan kreativitas berbahasa sehingga nama yang poaling tepat adalah CBSA Komunikatif.”
2. Kutipan Tidak Langsung
Kutipan tidak langsung umumnya tampil bervariasi; bergantung kepada gaya bahasa penulis. Setiap penulis mempunyai cara sendiri-sendiri mengungkapkan kembali ide atau konsep orang lain didalam tulisannya. Ada penulis yang memberi komentar lebih panjang, tetapi ada yang menyatakannya dengan singkat. Kutipan tidak langsung tidak perlu disertai dengan halaman buku sumber, cukup dengan mencantumkan nama penulis yang diikuti dengan tahun terbitan buku sumber.
Contoh:
Tolla (1996) mengemukakan bahwa metode CBSA dalam pengajaran perlu dibedakan dengan metode CBSA dalam bidang studi yang lain kerena pengajaran bahasa mempunyai karakteristik khusus yang berbeda dengan bidang studi yang lain.
Cara Lain :
Penerapan metode CBSA dalam pengajaran bahasa harus dibedakan dengan penerapannya dalam budang studi yang lain dengan alasan bahwa karakteristik pengajaran bahasa adalah penggunaan bahasa secara dinamis dan kreatif (Tolla, 1996).
3. PERUMUSAN HIPOTESIS
A. Pengertian Hipotesis
Trealese (1960) memberikan definisi hipotesis sebagai suatu keterangan sementara dari suatu fakta yang dapat diamati.
Goog dan Scates (1954) menyatakan bahwa hipotesis adalah sebuah taksiran atau referensi yang dirumuskan serta diterima untuk sementara yang dapat menerangkan fakta-fakta yang diamati ataupun kondisi-kondisi yang diamati dan digunakan sebagai petunjuk untuk langkah-langkah selanjutnya.
Kerlinger (1973) menyatakan hipotesis adalah pernyataan yang bersifat terkaan dari hubungan antara dua atau lebih variabel.
Dari arti katanya, hipotesis memang dari dua penggalan. Kata “HYPO” yang artinya “di bawah” dan “THESA” yang artinya :Kebenaran” jadi hipotesis yang kemudian cara menulisnya disesuaikan dengan ejaan Bahasa Indonesia menjadi hipotesa, dan berkembang menjadi hipotesis.
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian, yang kebenarannya masih terus diuji secara empiris.
Pengertian hipotesis
· Secara teknis : Pernyataan mengenai populasi yang akan diuji kebenarannya masih harus diuji secara empiris.
· Secara statistik : Pernyataan mengenai keadaan parameter yang akan diuji melalui statistik sampel.
· Secara implisit : Prediksi
B. Kegunaan Hipotesis
Kegunaan hipotesis antara lain sebagai berikut:
1. Hipotesis memberikan penjelasan sementara tentang gejala-gejala serta memudahkan perluasan pengetahuan dalam suatu bidang.
2. Hipotesis memberikan suatu pernyataan hubungan yang langsung dapat diuji dalam penelitian.
3. Hipotesis memberikan arah kepada penelitian.
4. Hipotesis me,berikan kerangka untuk melaporkan kesimpulan penyelidikan.
C. Jenis- jenis hipotesis
Ada dua jenis hipotesis yang digunakan dalam penelitian antara lain :
1. Hipotesis kerja atau alternatif, disingkat Ha, hipotesis kerja menyatakan adanya hubungan antara variabel X dan Y, atau adanya perbedaan antara dua kelompok.
Rumusan hipotesis kerja
a) Jika... Maka...
b) Ada perbedaan antara ... Dan... Dalam
c) Ada pengaruh... Terhadap...
2. Hipotesis nol (null hypoteses) disingkat Ho.
Hipotesis ini menyatakan tidak ada perbedaan antara dua variabel, atau tidak adanya pengaruh variabel X terhadap variabel Y
Rumusanya:
a) Tidak ada perbedaan antara... Dengan... Dalam...
b) Tidak ada pengaruh... Terhadap
Saran untuk memperoleh hipotesis
1. Hipotesis indiktif
Dalam prosedur induktif, penelitian merumuskan hipotesis sebagai suatu generalisasi dari hubungan- hubungan yang diamati.
2. Hipotesis deduktif
Dalam hipotesis ini peneliti dapat memulai penyelidikan dengan memilih salah satu teori yang ada dibidang yang menarik minatnya, setelah teori dipilih, ia lalu menarik hipotesis dari teori ini.
D. Ciri- ciri hipotesis
Ciri- ciri hipotesis yang baik:
1. Hipotesis harus mempunyai daya penjelas
2. Hipotesis harus menyatakan hubungan yang diharapkan ada diantara variabel- variabel
3. Hipotesis harus dapat diuji
4. Hipotesis hendaknya konsistesis dengan pengetahuan yang sudah ada
5. Hipotesis hendaknya diyatakan sesederhana dan seringkas mungkin.
E. Menggali dan merumuskan hipotesis
Dalam menggali hipotesis peneliti harus:
1) Mempunyai banyak informasi tentang masalah yang ingin dipecahkan dengan jalan banyak membaca literatur- literatur yang ada hubunganya dengan penelitian yang sedang dilaksanakan.
2) Mempunyai kemampuan untuk memeriksa keterangan tentang tempat- tempat, objek- objek serta hal- hal yang berhubungan satu sama lain dalam fenomena yang diselidiki.
3) Mempunyai kemampuan untuk menghubungkan suatu keadaan dengan keadaan lainya yang sesuai dengan kerangka teori ilmu dan bidang yang bersangkutan.
Good dan scates memberikan beberapa sumber untuk menggali hipotesis:
1) Ilmu pengetahuan dan pengertian yang mendalam tentang ilmu
2) Wawasan serta pengertian yang mendalam tentang suatu wawasan
3) Imajinasi dan angan- angan
4) Materi bacaan dan literatur
5) Pengetahuan kebiasaan atau kegiatan dalam daerah yang diselidiki
6) Data yang tersedia
7) Kesamaan
Sebagai kesimpulan, maka beberapa petunjuk dalam merumuskan hipotesis dapat diberikan sebagai berikut:
1) Hipotesis harus dirumuskan secara jelas dan padat serta spesik
2) Hipotesis sebaiknya dinyatakan dalam kalimat deklaratif dan berbentuk pernyataan.
3) Hipotesis sebaiknya menyatakan hubungan antara dua atau lebih variabel yang dapat diukur
4) Hendaknya dapat diuji
5) Hipotesis sebaiknya mempunyai kerangka teori.
F. Menguji hipotesis
Sesudah hipotesis dirumuskan, hipotesis tersebut kemudian diuji secara enpiris dan tes logika.
Untuk menguji suatu hipotesis, peneliti harus:
1) Menarik kesimpulan tentang konsekuensi- konsekuensi yang dapat diamati apabila hipotesis tersebut benar.
2) Memilih metode- metode penelitian yang mungkin pengamatan, eksperimental atau prosedur lain yang diperlukan untuk menujukan apakah akibat- akibat tersebut terjadi atau tidak.
3) Menerapkan metode ini serta mengumpuklandata yang dapat dianalisis untuk menujukan apakah hipotesis tersebut didukung oleh data atau tidak.
G. Cara merumuskan hipotesis:
1) Menyatakan pertautan antara dua variabel atau lebih
2) Dinyatakan dalam kalimat deklaratif / pernyataan
3) Dirumuskan secara jelas dan padat
4) Dapat diuji
Jenisnya:
a) Hipotesis tentang hubungan / korelasi
b) Hipotesis tentang perbedaan
Hipotesis nol / Ho = Hipotesis yang menyatakan tidak adanya saling hubungan antara 2 variabel / lebih.
Hipotesis alternatif / HA = Adanya hubungan antar variabel.
4 PENULISAN DAFTAR PUSTAKA
Pengertian Daftar Pustaka adalah suatu daftar yang berisi semua sumber bacaan yang digunakan sebagai bahan acuan dalam penulisan karya ilmiah seperti Makalah, Skripsi, Tugas Akhir, Laporan, Thesis,dan penelitian. Pemilihan daftar pustaka ini harus benar-benar sesuai dengan pokok permasalahan yang dibahas dalam makalah. Mahasiswa, Dosen, Siswa tidak boleh mencantumkan nama/judul buku, artikel/jurnal serta dokumen lainnya baik cetak maupun internet yang tidak tetrdapat dalam daftar pustaka ini.
Berikut ini merupakan contoh dari bagaimana penulisan daftar pustaka pada penulisan makalah, skripsi atau penelitian dan lain sebagainya.
1. Penulisan daftar pustaka dalam pengambilan data dari internet, pertama; tulis nama, kedua; tulis (tahun buku atau tulisan dibuat dalam tanda kurung) setelah itu beri (tanda titik), ketiga; tulis judul buku/tulisannya lalu beri (tanda titik) lagi, keempat; tulis alamat websitenya gunakan kata (from) untuk awal judul web dll setelah itu beri tanda koma, kelima; tulis tanggal pengambilan data tersebut ok. Seperti contoh dibawah ini:
· Albarda (2004). Strategi Implementasi TI untuk Tata Kelola Organisasi (IT Governance). From http://rachdian.com/index2.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=27&Itemid=30, 3 August 2008
2. Penulisan daftar pustaka dalam pengambilan data dari buku, pertama; penulisan nama untuk awal menggunakan huruf besar terlebih dahulu setelah nama belakang ditulis beri (tanda koma), dimulai dari nama belakang lalu beri (tanda koma) dan dilanjutkan dengan nama depan, kedua; tahun pembuatan atau penerbitan buku, ketiga; judul bukunya ingat ditulis dengan mengunakan huruf miring setelah judul gunakan (tanda titik), keempat; tempat diterbitkannya setelah tempat penerbitan gunakan (tanda titik dua), dan kelima; penerbit buku tersebut diakhiri dengan (tanda titik). Seperti contoh dibawah ini:
· Peranginangin, Kasiman (2006). Aplikasi Web dengan PHP dan MySql. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset.
· Soekirno, Harimurti ( 2005). Cara Mudah Menginstall Web Server Berbasis Windows Server 2003. Jakarta: Elex Media Komputindo.
3. Penulisan daftar pustaka yang lebih dari satu/dua orang penulis dalam buku yang sama. Pertama tulis nama belakang dari penulis yang pertama setelah nama belakang beri (tanda koma) lalu tulis nama depan jika nama depan berupa singkatan tulis saja singkatan itu setelah nama pertama selesai beri (tanda titik) lalu beri (tanda koma) untuk nama kedua / ketiga ditulis sama seperti nama sali alis tidak ada perubahan, yang berubah penulisannya hanya orang pertama sedangkan orang kedua dan ketiga tetap. Setelah penulisan nama kedua selesai, nah jika tiga penulis gunakan tanda dan (&) pada nama terakhir begitupula jika penulisnya hanya dua orang saja, setelah penulisan nama selesai, Kedua; tahun pembuatan atau cetakan buku tersebut dengan diawali [tanda kurung buka dan kurung tutup/ ( )] setelah itu beri (tanda titik). Ketiga; judul buku atau karangan setelah itu beri (tanda koma) dan ditulis dengan huruf miring ok. keempat; yaitu penulisan tempat penerbitan/cetakan setelah itu beri (tanda titik dua : ) dan terakhir kelima; nama perusahaan penerbit buku atau tulisan tersebut dan diakhiri (tanda titik) ok. Untuk gelar akademik tidak ditulis dalam penulisan daftar pustaka. Nah ini contohnya Seperti dibawah ini:
· Suteja, B.R., Sarapung, J.A, & Handaya, W.B.T. (2008). Memasuki Dunia E-Learning, Bandung: Penerbit Informatika.
· Whitten, J.L.,Bentley, L.D., Dittman, K.C. (2004). Systems Analysis and Design Methods. Indianapolis: McGraw-Hill Education.
Perlu diingat juga untuk penulisan daftar pustaka yang banyak harus berurutan penulisannya. Nama dari sumber yang diambil sebagai daftar putaka ditulis berdasarkan urutan Abjad dari nama masing-masing tersebut, dimulai dengan Abjad A-Z itulah urutan penulisan daftar pustaka yang baik yaitu sesuai dengan urutan nama-namanya.
Diposkan oleh Nja Nidya di 06:29
Jumat, 30 Maret 2012
Minggu, 18 Maret 2012
Sabtu, 17 Maret 2012
Jumat, 16 Maret 2012
ADAT ISTIADAT MINANGKABAU
Kata Adat berasal dari bahasa Arab yang secara etimologis berarti kebiasaan yang berlaku berulang-kali. Sederhananya, adat Minangkabau itu artinya “Bapucuak sabana bulek, basandi sabana padek”, artinya orang Minang percaya kepada Allah SWT yang ajarannya tersurat dalam Al-Qur’anul Karim, dan tersirat kepada alam (Alam Takambang Jadi Guru).
Pengetahuan adat Minangkabau itu dihimpun di dalam “Undang nan Duo Puluh Cupak nan Duo” :
I. Adat Ampek, terdiri dari:
Adat sabana adat
Adat nan diadatkan
Adat teradat
adat istiadat
1. Adat sabana adat
kenyataan atau peraturan yang berlaku dalam alam yang merupakan kodrat Illahi , yang didasarkan berdasarkan Agama Islam (syarak) misalnya “Adaik api mambaka, adaik aie mambasahi, adaik ayam bakokok, adaik murai bakicau, adaik lauik baombak.”Adat nan sabana adat ini juga merupakan adat yang tetap, kekal, tidak terpengaruh oleh tempat dan waktu atau keadaan. Sebab itu dikiaskan dengan “Indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan“.
“Adat nan sabana adat” merupakan hal yang seharusnya, menurut “alue jo patuik”, menurut agama, menurut perikemanusiaan, menurut tempat dan menurut masa. Sebelumnya masuk Islam di Minangkabau , adat sabana adat dulunya merupakan aturan dalam masyarakat yang dicontoh dan dipelajari oleh nenek moyang kita Dt. Parpatiah Nan Sabatang dan Dt.Katumangguang dari kenyataan alam.
Tantang sakik lakek ubek
Tantang bana lakek alua
Tantang aia lapeh tubo
Tantang barrih makan pahek
Tantang ukua mangko dikarek
Dikapuak-kapuak lakek parmato
Bulek aia dek pambuluah
Bulek kato dek mufakat
Bulek jantuang dek kalupak
Bulek sagiliang, pipih salayang
Panakiak pisau sirauk
Ambiak galah batang lintabuang
Silodang ambiak ka niru
Nan satitiak jadikan lauik
Nan sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadi guru
2. Adat nan diadatkan
sesuatu yang didasarkan atas mufakat, dan mufakat ini harus pula didasarkan atas alur dan patut. Adat ini merupakan sesuatu yang dirancang dan dijalankan, serta diteruskan oleh nenek moyang yang mula-mula menempati Minangkabau untuk menjadi peraturan bagi kehidupan masyarakat dalam segala bidang.
Adat yang diadatkan melingkupi seluruh segi kehidupan, terutama segi kehidupan sosial, budaya dan hukum. Keseluruhannya tersimpul dalam “Undang-Undang Nan Duo Puluah” dan “Cupak Nan Duo”.
Kata undang berarti aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat dengan sanksi yang dikenakan oleh pimpinan masyarakat terhadap anggota yang melanggar.
“Cupak” artinya alat penakar. Maksudnya, norma yang dijadikan standar untuk mengukur atau menilai tindakan seseorang dalam bermasyarakat yang mana telah dimufakati bersama. Misalnya, pada upacara perkawinan haruslah mempelai wanita (anak daro) dan mempelai laki-laki memakai pakaian menurut yang dilazimkan pada saat acara perkawinan.
Berdasarkan yang dibuat oleh Dt. Parpatiah Nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan yang dicontoh dari adat nan sabananyo adat, dan dilukiskan peraturan itu dalam pepatah, yakni persoalan yang bersangkutan dengan peraturan hidup masyarakat dalam segala bidang, umpamanya :
a. Kedudukan seseorang sebagai pribadi
b. Kedudukan masyarakat
c. Eknomi
Dan juga mengatur bidang :
a. Susunan masyasrakat
b. Tujuan masyarakat
c. Cara mencapai tujuan masyarakat
Kedudukan sesorang sebagai pribadi :
Nan kuriak iyolah kundi
Nan merah iyolah sago
Nan baiak iyolah budi
Nen endah iyolah baso
Yang tujuannya untuk mencapai :
Nan tuo dihormati
Nan ketek dikasihi
Samo gadang baok bakawan
Anyuik bapinteh, hilang bacari
Salah dibatuakan
Tarapuang bakaik
Tabanam baslami.
Kedudukan masyarakat :
Nan barek samo dipikua
Nan ringan samo di jinjiang
Nan elok bahimbauan
Nan buruak bahambauan
Nan elok diawak katuju dek urang
Sahino samalu
Sasakik sasanang
Sakik disilau, mati bajanguak
Ekonomi :
Elok lenggang di nan data
Rancak rarak di hari paneh
Hilang rono dek pinyakik
Hilang bangso tak barameh
Dek ameh sagalo kameh
Dek padi sagalo jadi
Duduak marauik ranjau
Tagak maninjau jarah
Dan sebagai dasar adalah :
Sawah ladang, banda buatan
Batanam nan bapucuak
Mamaliharo nan banyawa
Ka sawah babungo ampiang
Ka rimbo babungo kayu
Ka sungai babungo pasia
Ka lauik babungo karang
Ka tambang babungo ameh
Nan lunak di tanami padi
Nan kareh di buek ladang
Artinya sebagai prinsip dasar dalam bidang ekonomi adalah pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan dll.
Susunan masyarakat seperti kata pepatah :
Ingirih bakarek kuku
Panggang pisau sirauik
Panggarek batuang tuonyo
Batuang tuo ambiak ka lantai
Nagari ba kaampek suku
Dalam suku babuah paruik
Kampuang diagiah batuo
Rumah dibari batungganai
Dengan ketentuan :
Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka penghulu
Penghulu barajao ka mufakat
Mufakat barajo ka nan bana
Bana badiri sandirinyo
Nan manuruik alua jo patuik
Tujuan masyarakat :
Bumi sanang padi manjadi
Padi kuniang jaguang maupiah
Taranak bakambang biak
Anak buah sanang santoso
Bapak kayo mande batuah
Mamak disambah urang pulo.
Artinya untuk mencapai kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan dalam masyarakat.
Cara mencapai tujuan masyarakat :
Nan barek samo dipikua
Nan ringan samo dijinjiang
Ka bukik samo mandaki
Ka lurah samo manurun
Tatungkuik samo makan tanah
Tatilantang samo makan ambun
Tarapuang samo anyuik
Tarandam samo basah.
Kato surang di bulati
Kato basamo dipaiyokan
Kalau mambilai samo laweh
Kok maukua samo panjang
Ketek kayu ketek bahan
Gadang kayu gadang bahan
Nan ado samo dimakan
Nan tidak samo dicari
Hati gajah samo di lapah
Hati tungau diagiah bacacah
3. Adat Teradat
kebiasaan setempat yang dapat bertambah pada suatu tempat dan dapat pula hilang menurut kepentingan.
Adat seperti ini tergambar dalam pepatah adat:
Babeda padang babeda balalang
Babeda lubuak babeda pulo ikannyo
Cupak sapanjang batuang
Adaik salingka nagari
Bila dibandingkan antara adat nan teradat dengan adat nan di adatkan, terlihat perbedaannya dari segi keumuman yang berlaku. Adat nan di adatkan bersifat umum pemakaiannya pada seluruh negeri yang terlingkup dalam satu lingkaran adat yang dalam hal ini ialah seluruh lingkungan Minangkabau. Umpamanya Adat Matriakat (suami tinggal di keluarga pihak isteri) yang berlaku dan diakui di seluruh Minangkabau. Walaupun kemudian mungkin mengalami perubahan, namun perubahan itu berlaku dan merata di seluruh negeri. Pelaksanaan adat matriakat dapat berbeda antara negeri yang satu dengan yang lain. Umpamanya, malam yang keberapa sesudah nikah suami diantarkan ke rumah isterinya, atau malam yang keberapa anak daro (mempelai wanita) harus datang dan bermalam di rumah orang tua suami (istilahnya manjalang mintuo), atau kamar deretan mana yang harus ditempati penganten baru dan lain tata cara yang menyangkut pelaksanaan adat matriakat tersebut.
Jadi, adat nan teradat bisa saja terdapat perbedaan-perbedaan dalam keadaan, umpamanya keadaan suatu negeri dengan negeri yang lain.
Adat nan teradat menurut fatwa adat Minangkabau:
Rasan aia ka aia
Rasan minyak ka minyak
Buayo gadang di lautan
Gadang garundang di kubangan
Nan babungkuih rasan daun
Nan bakabek rasan tali
Adat nan teradat ini disebut juga Limbago (lembaga) dan Limbago ini adalah cetakan. Limbago akan menghasilkan sesuatu menurut limbago itu sendiri, kalau limbago itu bundar, maka akan bundar pula hasil yang dicetak dan jika bersegi, maka akan bersegi pula hasilnya. Jadi hasil cetakan itu menurut sifat dan keadaan limbago tersebut.
peraturan yang dibuat secara bersama oleh para ninik mamak, pamangku adat dalam suatu nagari.
Peraturan tersebut berguna untuk merealisasi peraturan-peraturan yang dibuat oelh nenek moyang dalam Adat Nan Diadatkan.
Di dalam aturan Adat Nan Diadatkan, peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan kehidupan masyarakat baik dalam bidang sosial, politik, hukum dan lain-lainnya, dituangkan dalam bentuk pepatah-petitih, mamang bidal, pantun dan gurindam yang disusun dalam bentuk kalimat kelimat pendek, tetapi mengandung arti kiasan yang menghendaki adanya peraturan pelaksana untuk menjalankannya dalam masyarakat.
Peraturan-peraturan Adat Teradat ini tidak sama pada tiap-tiap nagari. Karena peraturan-peraturan yang dibuat harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi setiap nagari di Minangkabau. Hal ini disebut dalam pepatah :
Lain lubuak lain ikannyo
Lain padang lain belalalngnyo
Lain nagari lain adatnyo
Baadat sapanjang jalan
Bacupak sapanjang batuang
4. Adat Istiadat
kebiasaan dalam suatu nagari atau golongan yang berupa kesukaan dari sebgian masyarakat tersebut, seperti kesenian, olah raga, dan sebagainya, seni suara, seni lukis, dan bangunan-bangunan dan lain-lain, yang disebut dalam pepatah :
Nan baraso bamakan
Nan barupo baliyek
Nan babunyi badanga
II. Nagari Ampek
Nagari Ampek terdiri dari :
a. Taratak
b. Dusun
c. Koto
d. Nagari
a. Taratak :
Tempat mula-mula didiami nenek moyang kita untuk tempat beberapa orang anggota keluarga memulai “manatak”. Selanjutnya “taratak” itu dijadikan tempat berkehidupan secara bersama yang sifatnya jauh dari sederhana.
b. Dusun :
Pada mulanya taratak dengan taratak lain yang mempunyai hubungan baik satu dengan yang lain mulai menyusun kesatuan keluarga yang jumlahnya sangat terbatas sekali. Dalam hal ini telah dimulai membuat rumah secara sederhana sekali, begitupun sumber-sumber penghidupan telah muali dilaksanakan secara tetap.
c. Koto :
Dusun-dusun yang tadinya terpencar-pencar, kemudian dengan persetujuan bersama dilakukan pengelompokan yang dihubungkan dengan tali keturunan secara adat yang dimulai dengan pemufakatan yang bulat (sakato). Maka tempat yang telah diperoleh dengan cara pemufakatan bersama ini disebutlah “koto”. Dalam hal ini masyarakatnya telah mulai berkembang maju, yaitu telah mulai bekerja membuat sawah ladang dan irigasi secara bersama-sama.
d. Nagari :
Beberapa koto, yang biasanya terdiri dari tiga kelompok koto, dijadikan satu. Yang pernah ditemui adalah Kepala Koto, Tengah Koto, Ikua koto. Ketiga koto ini disusun menjadi satu kesatuan hukum yang disebut “nagari” yang disebut dalam ketentuan adat :
Kok ketek balingka tanah
Jikok gadang balingkuang aua
Nagari bapaga undang
Kampuang bapaga buek
Kampuang baumpuak
Suku ba joroang
III. Kato-Kato Adat Ampek
a. Kato Mufakat
b. Kato Pusako
c. Kato Dahulu Batapati
d. Kato Kamudian Kato Bacari
a. Kato Mufakat
Kato surang dibulati
Kato basamo dipaiyokan
Duduak surang basampik-sampik
Duduak basamo balapang-lapang
Baiyo jo adiak
Batido-tido jo kakak
Dibulekkan kato jo mufakat
Bulek baru digolekkan
Picak baru dilayangkan
Saciok bak ayam
Sadanciang bak basi
Bulek indak basuduik
Picak indak basandiang
Tapauik balantak
Takuruang bakunci
b. Kato Pusako :
dalam ketentuan Adat :
Mamahek manuju barih
Tantang bana lubang ka tambuak
Malantiang manuju pangka
Tantang bana buah ka rareh
Manabang manuju pangka
Tantang bana ruweh ka rabah
Artinya meletakkan sesuatu hendaklah pada tempatnya, menurut mungkin dan patut adanya.
c. Kato Dahulu Batapati
sesuatu hasil mufakat yang telah disepakai bersama menjadi suatu keputusan, tetapi belum sempat untuk dilaksanakan karena sesuatu dan lain hal. Apabila telah tiba waktunya untuk dilaksanakan, maka pelaksanaan tersebut haruslah sesuai dengan Adat tentang Kato dahulu batapati :
Suri tagantuang batanuni
Luak taganang basauak
Kayu batakuak barabahkan
Janji babuek batapati
Titiak buliah ditampuang
Maleleh buliah dipalik
Satitiak buliah dilauikkan
Sakapa buliah digunuangkan
d. Kato Kamudian Kato Bacari
Setiap persoalan yang telah dimufakati pada mulanya, tetapi belum mencapai keputusan, kemudian datang suatu hal yang menghalangi maka permufakatan itu ditunda waktunya. Setelah sampai pada waktu yang telah ditentukan, timbul pemikiran baru yang lain yang lebih baik dari pada yang sudah. Tanpa mengubah prinsip, maka dicari kata yang baru dalam hal ini. Maka yang demikian disebut “Kato kemudian kato bacari”.
IV. Hukum Ampek
a. Hukum ilmu: sesuatu yang dihukum dengan ilmu
b. Hukum sumpah : sesuatu yang dihukum dengan bersumpah
c. Hukum kurenah : sesuatu yang dihukum dengan fi’il
d. hukum perdamaian : sesuatu yang dihukum secara berdamai
V. Undang Ampek
a. Undang-undang Luak
Luak ba-pangulu
Rantau barajo
b. Undang-undang Nagari
Basasok bajarami
Bapandam bapakuburan
Balabuah batapian
Barumah batanggo
Basawah baladang
Bakorong bakampuang
Babalai bamusajik
c. Undang-undang dalam nagari
Salah ditimbang hutang babaia
Salah ambiak mangumbali
Salah cotok malantiangkan
Salang mangumbali
Alek bapanggia mati bajirambok
Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang
Nan elok bahimbauan
Nan buruak bahambauan
d. Undang-undang duo puluah :
Dua belas dari undang-undang ini disebut “tuduah nan bakatangguangan” Atinya sesuatu yang bisa menjadikan seseorang dituduh mengerjakan suatu kejahatan, yaitu :
1. Anggang lalu atah jatuah
2. Pulang pagi babasah-basah
3. Bajalan bagageh-gageh
4. Kacondongan mato urang banyak
5. Dibao ribuik, dibao angin
6. Dibao pikek, dibao langau
7. Tasidorong jajak manurun
8. Tatukiak jajak mandaki
9. Bajua bamurah-murah
10. Batimbang jawab ditanyoi
11. Lah bauriah bak sipasin
12. Lah bajajak bak babakiek
Kalau kiranya yang dua belas macam ini salah satu telah ditemui pada diri seseorang dalam satu kejadian yang sifatnya kesalahan, maka seseorang itu telah dapat dituduh.
Delapan macam dari undang-undang dua puluh tersebut disebut di dalam adat Minangkabau “cemooh nan bakaadaan”. Artinya bila seseorang yang dituduh melakukan kejahatan telah lengkap pembuktiannya, seperti :
13. Dago-dagi mambari malu
14. Sumbang salah laku parangai
15. Samun saka tagak di bateh
16. Umbuak umbi budi marangkak
17. Curi maliang taluang dindiang
18. Tikam-bunuah parang badarah
19. Sia baka sabatang suluah
20. Upeh racun batabuang sayak
VI. Cupak Duo
Cupak dalam adat adalah ukuran dan takaran untuk penakar makanan yang tidak boleh dilebihi dan dikurangi, apabila dipakai untuk jual beli.
Cupak ini terbagi dua macam :
a. Cupak usali (asli)
b. Cupak buatan
a. Cupak Usali
Nan disabuik cupak duo baleh taia, gantang nan kurang duo limo puluah, yakni peraturan adat dibuat oleh nenek moyang kita Dt. Perpatiah Nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan. Gantang nan kurang duo limo puluah adalah sifat-sifat yang berhubungan dengan Allah dan Rasul. Cupak duo baleh taia dan gantang kurang duo limo puluah ini di Minangkabau tidak dapat diubah.
Cupak usali adalah peraturan-peraturan yang telah kita teima turun-temurun tentang adat Minangkbau yang berhubungan dengan gelar pusako (soko), harta pusaka, undang-undang pergaulan di Minangkabau, tentang penyelesaian sengketa, soal sosial, keamanan, dan sebagainya, dan peraturan dalam adat yang kita sebut adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, adat nan kawi, syarat nan lazim. Cupak usali itu yang sebenarnya adalah kata kiasan, maksudnya peraturan-peraturan yang asli tentang adat dan syarak, yang tidak dapat ditambah dan dikurangi.
Cupak papaek gantang piawai, cupak duo baleh taia, gantang kurang duo limo puluah. Cupak duo baleh taia ini disebut juga cupak nan anam ka ateh, anam ka bawah, yakni enam hal yang bersangkutan dengan perdata, dan enam yang bersangkutan dengan pidana. Gantang kurang duo limo puluah, adalah 20 sifat yang wajib, 20 sifat yang mustahil pada Allah, dan 4 sifat yang wajib pada Rasul, 4 sifat yang mustahil pada Rasul, sehingga berjumlah 50 kurang dua, satu harus pada Allah, satu harus pada Rasul
b. Cupak buatan :
Persekutuan yang memberi lazat bagi sagalo hati manusia. Artinya peraturan-peraturan yang dibikin oleh cupak buatan ialah peraturan adat dalam satu nagari. Peraturan itu memberikan kelazatan dalam pergaulan masyarakat, sebab kalau sudah dapat dilaksanakan akan membawa hasil yang baik dalam hubungan satu dengan yang lainnya.
Cupak Tiruan :
Ialah hawa nafsu yang diharuskan bagi hati setengah manusia. Artinya adalah keinginan yang dipunyai oleh sebagian orang karena dalam keinginan yang dimaksud itu tidak semua orang menyukainya, adakalanya lantaran tidak ada kesanggupan untuk memiliki keinginan tersebut, dan adakalanya lantaran tidak adanya kesukaan terhadapnya.
Cupak nan piawai :
Adalah suatu pekerjaan di dalam masyarakat untuk mencapai kehidupan yang sempurna dan pergaulan yang baik serta kebutuhan hidup yang diridhai oleh Allah SWT.
Cupak nan piawai ialah memenuhi kebutuhan hidup yang suatu penghidupan yang dapat mengahsilkan sesuatu untuk kebutuhan sehari-hari.
VII. Ukua Jangko Di dalam Adat Minangkabau
Menurut adat Minangkabau ada beberapa ketentuan yang menjadi ukuran dan hinggaan yang harus diamalkan oleh setiap orang, untuk mencapai tujuan secara baik di dalam kehidupan bergaul. Ketentuan tersebut dinamakan “ukua jangko” yang terdiri delapan macam.
a. Nak Luruih Rantangan Tali
Supayo jan manyimpang kiri jo kanan
Luruih manantang barih adat
Mangarek tantangan ukua
Artinya :
Selalulah di dalam kehidupan ini berlaku lurus dan benar, dan jangan menyimpang dari ketentuan yang berlaku di dalam masyarakat (adat, syarak, undang-undang).
b. Nak tinggi naiakkan budi
Mancari jalan kabanaran
Supayo jan kalangkahan
Tagak jan tasundak
Malenggang ndak tapampeh
Batutua jo lunak lambuik
Lunak bak santan jo tanguli
Suatu karajo nan lalu salasai sajo.
Artinya :
Selalulah bergaul dengan baik sesama manusia, yang tua dihormati, yang kecil dikasihi, sama besar bersaudara, dan berkatalah dengan lemah lembut, dan bergaullah dengan sopan hormat menghormati.
c. Nak haluih baso jo basi
Jan barundiang basikasek
Jan bakato basikasa
Jan bataratak bakato siang
Mahariak mahantam tanah
Jan babana ka pangka langan
Usah ba-utak ka ampu kaki.
Pandai maagak maagiahkan
Budi baiak baso katuju
Muluik manih kacindan murah.
Artinya :
Bergaullah penuh sifat ramah tamah, sopan dan santun, hormat menghormati sesamanya, yang senantiasa mencerminkan tingkah laku yang berlandaskan budi luhur.
d. Nan elok lapangkan hati
Mancari jalan kabaikan
Nan dapek suluah nan tarang
Mampunyai saba jo ridha
Sarato hemat dan cermat
Artinya :
Selalulah di dalam bergaul mempunyai sifat lapang hati dan sabar, tenang dan beribawa, tetapi tegas dan bijaksana, serta mempunyai sifat malu di dalam diri, dan hati-hati.
e. Nak taguah paham dikunci
Jan taruah bak katidiang
Jan baserak bak anjalai
Kok ado rundiang ba nan batin
Patuik baduo jan batigo
Nak jan lahia didanga urang
Artinya :
Yang terlalu lyoal, selalu menyimpan rahasia yang patut dirahasiakan. Bertindak dan berbuat penuh kebijaksanaan.
f. Nak Mulia tepati janji
Kato nan bana ka dipegang
Walau bak mano sangkuik pauik
Asa indak mahambek bana
Namun janji batapati juo
Artinya :
Kalau ingin dimuliakan atau jadi orang yang mulia, selalulah menepati janji yang telah dijanjikan, klecuali mendadak datang halangan.
g. Nak labo bueklah rugi
Namuah bapokok babalanjo
Namuah bajariah bausaho
Marugi kito dahulu
Dek ujuik yakin manjalankan
Lamo lambek tacapai juo
Artinya :
Berusahalah selalu untuk kebutuhan hidup sehingga mencapai keuntungan yang wajar. Dan setiap keuntungan yang ingin hendak dicapai senantiasa menghendaki pengorbanan.
h. Nak kayo kuat mancari
Namuah bajariah bausaho
Namuah bapokok babalanjo
Asa lai angok-angok ikan
Asa lai jiwo-jiwo patuang
Nan tidak dicari juo.
Artinya :
Setiap kesenangan dan kekayaan serta kebahagiaan biasanya dapat dicapai oleh seseorang, terlebih dahulu dengan membanting tulang dan memeras keringat.
Kalau sekiranya ukua jangko yang delapan macam tersebut dapat dilaksanakan oleh seseorang dalam hidup ini secara perorangan maupun secara bermasyarakat, maka bertemulah menurut kaedah adat :
Kok mamahek lah dalam barih
Kok batanam di dalam paga
Tetapi kalau sekiranya tidak dilaksanakan, juga adat mengatakan :
Bakato bak balalai gajah
Bicaro bak katiak ula
Babicaro kapalang aka
Bapikia saba tak ado
Bailimu kapalang paham
Rumah tampak jalan tak tantu
Angan lalu paham tatumbuak
Aka panjang itikad salah
Ukua sampai jangko alah sudah
Hari tibo hukuman jatuah
Di akhirat sajo mangkonyo tahu
Tuhan sandiri manantukan
Jalan dialiah dek rang lalu
Cupak dirubah rang manggaleh.
sumber: azizfamily.wordpress.com
Pengetahuan adat Minangkabau itu dihimpun di dalam “Undang nan Duo Puluh Cupak nan Duo” :
I. Adat Ampek, terdiri dari:
Adat sabana adat
Adat nan diadatkan
Adat teradat
adat istiadat
1. Adat sabana adat
kenyataan atau peraturan yang berlaku dalam alam yang merupakan kodrat Illahi , yang didasarkan berdasarkan Agama Islam (syarak) misalnya “Adaik api mambaka, adaik aie mambasahi, adaik ayam bakokok, adaik murai bakicau, adaik lauik baombak.”Adat nan sabana adat ini juga merupakan adat yang tetap, kekal, tidak terpengaruh oleh tempat dan waktu atau keadaan. Sebab itu dikiaskan dengan “Indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan“.
“Adat nan sabana adat” merupakan hal yang seharusnya, menurut “alue jo patuik”, menurut agama, menurut perikemanusiaan, menurut tempat dan menurut masa. Sebelumnya masuk Islam di Minangkabau , adat sabana adat dulunya merupakan aturan dalam masyarakat yang dicontoh dan dipelajari oleh nenek moyang kita Dt. Parpatiah Nan Sabatang dan Dt.Katumangguang dari kenyataan alam.
Tantang sakik lakek ubek
Tantang bana lakek alua
Tantang aia lapeh tubo
Tantang barrih makan pahek
Tantang ukua mangko dikarek
Dikapuak-kapuak lakek parmato
Bulek aia dek pambuluah
Bulek kato dek mufakat
Bulek jantuang dek kalupak
Bulek sagiliang, pipih salayang
Panakiak pisau sirauk
Ambiak galah batang lintabuang
Silodang ambiak ka niru
Nan satitiak jadikan lauik
Nan sakapa jadikan gunuang
Alam takambang jadi guru
2. Adat nan diadatkan
sesuatu yang didasarkan atas mufakat, dan mufakat ini harus pula didasarkan atas alur dan patut. Adat ini merupakan sesuatu yang dirancang dan dijalankan, serta diteruskan oleh nenek moyang yang mula-mula menempati Minangkabau untuk menjadi peraturan bagi kehidupan masyarakat dalam segala bidang.
Adat yang diadatkan melingkupi seluruh segi kehidupan, terutama segi kehidupan sosial, budaya dan hukum. Keseluruhannya tersimpul dalam “Undang-Undang Nan Duo Puluah” dan “Cupak Nan Duo”.
Kata undang berarti aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota masyarakat dengan sanksi yang dikenakan oleh pimpinan masyarakat terhadap anggota yang melanggar.
“Cupak” artinya alat penakar. Maksudnya, norma yang dijadikan standar untuk mengukur atau menilai tindakan seseorang dalam bermasyarakat yang mana telah dimufakati bersama. Misalnya, pada upacara perkawinan haruslah mempelai wanita (anak daro) dan mempelai laki-laki memakai pakaian menurut yang dilazimkan pada saat acara perkawinan.
Berdasarkan yang dibuat oleh Dt. Parpatiah Nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan yang dicontoh dari adat nan sabananyo adat, dan dilukiskan peraturan itu dalam pepatah, yakni persoalan yang bersangkutan dengan peraturan hidup masyarakat dalam segala bidang, umpamanya :
a. Kedudukan seseorang sebagai pribadi
b. Kedudukan masyarakat
c. Eknomi
Dan juga mengatur bidang :
a. Susunan masyasrakat
b. Tujuan masyarakat
c. Cara mencapai tujuan masyarakat
Kedudukan sesorang sebagai pribadi :
Nan kuriak iyolah kundi
Nan merah iyolah sago
Nan baiak iyolah budi
Nen endah iyolah baso
Yang tujuannya untuk mencapai :
Nan tuo dihormati
Nan ketek dikasihi
Samo gadang baok bakawan
Anyuik bapinteh, hilang bacari
Salah dibatuakan
Tarapuang bakaik
Tabanam baslami.
Kedudukan masyarakat :
Nan barek samo dipikua
Nan ringan samo di jinjiang
Nan elok bahimbauan
Nan buruak bahambauan
Nan elok diawak katuju dek urang
Sahino samalu
Sasakik sasanang
Sakik disilau, mati bajanguak
Ekonomi :
Elok lenggang di nan data
Rancak rarak di hari paneh
Hilang rono dek pinyakik
Hilang bangso tak barameh
Dek ameh sagalo kameh
Dek padi sagalo jadi
Duduak marauik ranjau
Tagak maninjau jarah
Dan sebagai dasar adalah :
Sawah ladang, banda buatan
Batanam nan bapucuak
Mamaliharo nan banyawa
Ka sawah babungo ampiang
Ka rimbo babungo kayu
Ka sungai babungo pasia
Ka lauik babungo karang
Ka tambang babungo ameh
Nan lunak di tanami padi
Nan kareh di buek ladang
Artinya sebagai prinsip dasar dalam bidang ekonomi adalah pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan dll.
Susunan masyarakat seperti kata pepatah :
Ingirih bakarek kuku
Panggang pisau sirauik
Panggarek batuang tuonyo
Batuang tuo ambiak ka lantai
Nagari ba kaampek suku
Dalam suku babuah paruik
Kampuang diagiah batuo
Rumah dibari batungganai
Dengan ketentuan :
Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka penghulu
Penghulu barajao ka mufakat
Mufakat barajo ka nan bana
Bana badiri sandirinyo
Nan manuruik alua jo patuik
Tujuan masyarakat :
Bumi sanang padi manjadi
Padi kuniang jaguang maupiah
Taranak bakambang biak
Anak buah sanang santoso
Bapak kayo mande batuah
Mamak disambah urang pulo.
Artinya untuk mencapai kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan dalam masyarakat.
Cara mencapai tujuan masyarakat :
Nan barek samo dipikua
Nan ringan samo dijinjiang
Ka bukik samo mandaki
Ka lurah samo manurun
Tatungkuik samo makan tanah
Tatilantang samo makan ambun
Tarapuang samo anyuik
Tarandam samo basah.
Kato surang di bulati
Kato basamo dipaiyokan
Kalau mambilai samo laweh
Kok maukua samo panjang
Ketek kayu ketek bahan
Gadang kayu gadang bahan
Nan ado samo dimakan
Nan tidak samo dicari
Hati gajah samo di lapah
Hati tungau diagiah bacacah
3. Adat Teradat
kebiasaan setempat yang dapat bertambah pada suatu tempat dan dapat pula hilang menurut kepentingan.
Adat seperti ini tergambar dalam pepatah adat:
Babeda padang babeda balalang
Babeda lubuak babeda pulo ikannyo
Cupak sapanjang batuang
Adaik salingka nagari
Bila dibandingkan antara adat nan teradat dengan adat nan di adatkan, terlihat perbedaannya dari segi keumuman yang berlaku. Adat nan di adatkan bersifat umum pemakaiannya pada seluruh negeri yang terlingkup dalam satu lingkaran adat yang dalam hal ini ialah seluruh lingkungan Minangkabau. Umpamanya Adat Matriakat (suami tinggal di keluarga pihak isteri) yang berlaku dan diakui di seluruh Minangkabau. Walaupun kemudian mungkin mengalami perubahan, namun perubahan itu berlaku dan merata di seluruh negeri. Pelaksanaan adat matriakat dapat berbeda antara negeri yang satu dengan yang lain. Umpamanya, malam yang keberapa sesudah nikah suami diantarkan ke rumah isterinya, atau malam yang keberapa anak daro (mempelai wanita) harus datang dan bermalam di rumah orang tua suami (istilahnya manjalang mintuo), atau kamar deretan mana yang harus ditempati penganten baru dan lain tata cara yang menyangkut pelaksanaan adat matriakat tersebut.
Jadi, adat nan teradat bisa saja terdapat perbedaan-perbedaan dalam keadaan, umpamanya keadaan suatu negeri dengan negeri yang lain.
Adat nan teradat menurut fatwa adat Minangkabau:
Rasan aia ka aia
Rasan minyak ka minyak
Buayo gadang di lautan
Gadang garundang di kubangan
Nan babungkuih rasan daun
Nan bakabek rasan tali
Adat nan teradat ini disebut juga Limbago (lembaga) dan Limbago ini adalah cetakan. Limbago akan menghasilkan sesuatu menurut limbago itu sendiri, kalau limbago itu bundar, maka akan bundar pula hasil yang dicetak dan jika bersegi, maka akan bersegi pula hasilnya. Jadi hasil cetakan itu menurut sifat dan keadaan limbago tersebut.
peraturan yang dibuat secara bersama oleh para ninik mamak, pamangku adat dalam suatu nagari.
Peraturan tersebut berguna untuk merealisasi peraturan-peraturan yang dibuat oelh nenek moyang dalam Adat Nan Diadatkan.
Di dalam aturan Adat Nan Diadatkan, peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan kehidupan masyarakat baik dalam bidang sosial, politik, hukum dan lain-lainnya, dituangkan dalam bentuk pepatah-petitih, mamang bidal, pantun dan gurindam yang disusun dalam bentuk kalimat kelimat pendek, tetapi mengandung arti kiasan yang menghendaki adanya peraturan pelaksana untuk menjalankannya dalam masyarakat.
Peraturan-peraturan Adat Teradat ini tidak sama pada tiap-tiap nagari. Karena peraturan-peraturan yang dibuat harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi setiap nagari di Minangkabau. Hal ini disebut dalam pepatah :
Lain lubuak lain ikannyo
Lain padang lain belalalngnyo
Lain nagari lain adatnyo
Baadat sapanjang jalan
Bacupak sapanjang batuang
4. Adat Istiadat
kebiasaan dalam suatu nagari atau golongan yang berupa kesukaan dari sebgian masyarakat tersebut, seperti kesenian, olah raga, dan sebagainya, seni suara, seni lukis, dan bangunan-bangunan dan lain-lain, yang disebut dalam pepatah :
Nan baraso bamakan
Nan barupo baliyek
Nan babunyi badanga
II. Nagari Ampek
Nagari Ampek terdiri dari :
a. Taratak
b. Dusun
c. Koto
d. Nagari
a. Taratak :
Tempat mula-mula didiami nenek moyang kita untuk tempat beberapa orang anggota keluarga memulai “manatak”. Selanjutnya “taratak” itu dijadikan tempat berkehidupan secara bersama yang sifatnya jauh dari sederhana.
b. Dusun :
Pada mulanya taratak dengan taratak lain yang mempunyai hubungan baik satu dengan yang lain mulai menyusun kesatuan keluarga yang jumlahnya sangat terbatas sekali. Dalam hal ini telah dimulai membuat rumah secara sederhana sekali, begitupun sumber-sumber penghidupan telah muali dilaksanakan secara tetap.
c. Koto :
Dusun-dusun yang tadinya terpencar-pencar, kemudian dengan persetujuan bersama dilakukan pengelompokan yang dihubungkan dengan tali keturunan secara adat yang dimulai dengan pemufakatan yang bulat (sakato). Maka tempat yang telah diperoleh dengan cara pemufakatan bersama ini disebutlah “koto”. Dalam hal ini masyarakatnya telah mulai berkembang maju, yaitu telah mulai bekerja membuat sawah ladang dan irigasi secara bersama-sama.
d. Nagari :
Beberapa koto, yang biasanya terdiri dari tiga kelompok koto, dijadikan satu. Yang pernah ditemui adalah Kepala Koto, Tengah Koto, Ikua koto. Ketiga koto ini disusun menjadi satu kesatuan hukum yang disebut “nagari” yang disebut dalam ketentuan adat :
Kok ketek balingka tanah
Jikok gadang balingkuang aua
Nagari bapaga undang
Kampuang bapaga buek
Kampuang baumpuak
Suku ba joroang
III. Kato-Kato Adat Ampek
a. Kato Mufakat
b. Kato Pusako
c. Kato Dahulu Batapati
d. Kato Kamudian Kato Bacari
a. Kato Mufakat
Kato surang dibulati
Kato basamo dipaiyokan
Duduak surang basampik-sampik
Duduak basamo balapang-lapang
Baiyo jo adiak
Batido-tido jo kakak
Dibulekkan kato jo mufakat
Bulek baru digolekkan
Picak baru dilayangkan
Saciok bak ayam
Sadanciang bak basi
Bulek indak basuduik
Picak indak basandiang
Tapauik balantak
Takuruang bakunci
b. Kato Pusako :
dalam ketentuan Adat :
Mamahek manuju barih
Tantang bana lubang ka tambuak
Malantiang manuju pangka
Tantang bana buah ka rareh
Manabang manuju pangka
Tantang bana ruweh ka rabah
Artinya meletakkan sesuatu hendaklah pada tempatnya, menurut mungkin dan patut adanya.
c. Kato Dahulu Batapati
sesuatu hasil mufakat yang telah disepakai bersama menjadi suatu keputusan, tetapi belum sempat untuk dilaksanakan karena sesuatu dan lain hal. Apabila telah tiba waktunya untuk dilaksanakan, maka pelaksanaan tersebut haruslah sesuai dengan Adat tentang Kato dahulu batapati :
Suri tagantuang batanuni
Luak taganang basauak
Kayu batakuak barabahkan
Janji babuek batapati
Titiak buliah ditampuang
Maleleh buliah dipalik
Satitiak buliah dilauikkan
Sakapa buliah digunuangkan
d. Kato Kamudian Kato Bacari
Setiap persoalan yang telah dimufakati pada mulanya, tetapi belum mencapai keputusan, kemudian datang suatu hal yang menghalangi maka permufakatan itu ditunda waktunya. Setelah sampai pada waktu yang telah ditentukan, timbul pemikiran baru yang lain yang lebih baik dari pada yang sudah. Tanpa mengubah prinsip, maka dicari kata yang baru dalam hal ini. Maka yang demikian disebut “Kato kemudian kato bacari”.
IV. Hukum Ampek
a. Hukum ilmu: sesuatu yang dihukum dengan ilmu
b. Hukum sumpah : sesuatu yang dihukum dengan bersumpah
c. Hukum kurenah : sesuatu yang dihukum dengan fi’il
d. hukum perdamaian : sesuatu yang dihukum secara berdamai
V. Undang Ampek
a. Undang-undang Luak
Luak ba-pangulu
Rantau barajo
b. Undang-undang Nagari
Basasok bajarami
Bapandam bapakuburan
Balabuah batapian
Barumah batanggo
Basawah baladang
Bakorong bakampuang
Babalai bamusajik
c. Undang-undang dalam nagari
Salah ditimbang hutang babaia
Salah ambiak mangumbali
Salah cotok malantiangkan
Salang mangumbali
Alek bapanggia mati bajirambok
Barek samo dipikua, ringan samo dijinjiang
Nan elok bahimbauan
Nan buruak bahambauan
d. Undang-undang duo puluah :
Dua belas dari undang-undang ini disebut “tuduah nan bakatangguangan” Atinya sesuatu yang bisa menjadikan seseorang dituduh mengerjakan suatu kejahatan, yaitu :
1. Anggang lalu atah jatuah
2. Pulang pagi babasah-basah
3. Bajalan bagageh-gageh
4. Kacondongan mato urang banyak
5. Dibao ribuik, dibao angin
6. Dibao pikek, dibao langau
7. Tasidorong jajak manurun
8. Tatukiak jajak mandaki
9. Bajua bamurah-murah
10. Batimbang jawab ditanyoi
11. Lah bauriah bak sipasin
12. Lah bajajak bak babakiek
Kalau kiranya yang dua belas macam ini salah satu telah ditemui pada diri seseorang dalam satu kejadian yang sifatnya kesalahan, maka seseorang itu telah dapat dituduh.
Delapan macam dari undang-undang dua puluh tersebut disebut di dalam adat Minangkabau “cemooh nan bakaadaan”. Artinya bila seseorang yang dituduh melakukan kejahatan telah lengkap pembuktiannya, seperti :
13. Dago-dagi mambari malu
14. Sumbang salah laku parangai
15. Samun saka tagak di bateh
16. Umbuak umbi budi marangkak
17. Curi maliang taluang dindiang
18. Tikam-bunuah parang badarah
19. Sia baka sabatang suluah
20. Upeh racun batabuang sayak
VI. Cupak Duo
Cupak dalam adat adalah ukuran dan takaran untuk penakar makanan yang tidak boleh dilebihi dan dikurangi, apabila dipakai untuk jual beli.
Cupak ini terbagi dua macam :
a. Cupak usali (asli)
b. Cupak buatan
a. Cupak Usali
Nan disabuik cupak duo baleh taia, gantang nan kurang duo limo puluah, yakni peraturan adat dibuat oleh nenek moyang kita Dt. Perpatiah Nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan. Gantang nan kurang duo limo puluah adalah sifat-sifat yang berhubungan dengan Allah dan Rasul. Cupak duo baleh taia dan gantang kurang duo limo puluah ini di Minangkabau tidak dapat diubah.
Cupak usali adalah peraturan-peraturan yang telah kita teima turun-temurun tentang adat Minangkbau yang berhubungan dengan gelar pusako (soko), harta pusaka, undang-undang pergaulan di Minangkabau, tentang penyelesaian sengketa, soal sosial, keamanan, dan sebagainya, dan peraturan dalam adat yang kita sebut adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, adat nan kawi, syarat nan lazim. Cupak usali itu yang sebenarnya adalah kata kiasan, maksudnya peraturan-peraturan yang asli tentang adat dan syarak, yang tidak dapat ditambah dan dikurangi.
Cupak papaek gantang piawai, cupak duo baleh taia, gantang kurang duo limo puluah. Cupak duo baleh taia ini disebut juga cupak nan anam ka ateh, anam ka bawah, yakni enam hal yang bersangkutan dengan perdata, dan enam yang bersangkutan dengan pidana. Gantang kurang duo limo puluah, adalah 20 sifat yang wajib, 20 sifat yang mustahil pada Allah, dan 4 sifat yang wajib pada Rasul, 4 sifat yang mustahil pada Rasul, sehingga berjumlah 50 kurang dua, satu harus pada Allah, satu harus pada Rasul
b. Cupak buatan :
Persekutuan yang memberi lazat bagi sagalo hati manusia. Artinya peraturan-peraturan yang dibikin oleh cupak buatan ialah peraturan adat dalam satu nagari. Peraturan itu memberikan kelazatan dalam pergaulan masyarakat, sebab kalau sudah dapat dilaksanakan akan membawa hasil yang baik dalam hubungan satu dengan yang lainnya.
Cupak Tiruan :
Ialah hawa nafsu yang diharuskan bagi hati setengah manusia. Artinya adalah keinginan yang dipunyai oleh sebagian orang karena dalam keinginan yang dimaksud itu tidak semua orang menyukainya, adakalanya lantaran tidak ada kesanggupan untuk memiliki keinginan tersebut, dan adakalanya lantaran tidak adanya kesukaan terhadapnya.
Cupak nan piawai :
Adalah suatu pekerjaan di dalam masyarakat untuk mencapai kehidupan yang sempurna dan pergaulan yang baik serta kebutuhan hidup yang diridhai oleh Allah SWT.
Cupak nan piawai ialah memenuhi kebutuhan hidup yang suatu penghidupan yang dapat mengahsilkan sesuatu untuk kebutuhan sehari-hari.
VII. Ukua Jangko Di dalam Adat Minangkabau
Menurut adat Minangkabau ada beberapa ketentuan yang menjadi ukuran dan hinggaan yang harus diamalkan oleh setiap orang, untuk mencapai tujuan secara baik di dalam kehidupan bergaul. Ketentuan tersebut dinamakan “ukua jangko” yang terdiri delapan macam.
a. Nak Luruih Rantangan Tali
Supayo jan manyimpang kiri jo kanan
Luruih manantang barih adat
Mangarek tantangan ukua
Artinya :
Selalulah di dalam kehidupan ini berlaku lurus dan benar, dan jangan menyimpang dari ketentuan yang berlaku di dalam masyarakat (adat, syarak, undang-undang).
b. Nak tinggi naiakkan budi
Mancari jalan kabanaran
Supayo jan kalangkahan
Tagak jan tasundak
Malenggang ndak tapampeh
Batutua jo lunak lambuik
Lunak bak santan jo tanguli
Suatu karajo nan lalu salasai sajo.
Artinya :
Selalulah bergaul dengan baik sesama manusia, yang tua dihormati, yang kecil dikasihi, sama besar bersaudara, dan berkatalah dengan lemah lembut, dan bergaullah dengan sopan hormat menghormati.
c. Nak haluih baso jo basi
Jan barundiang basikasek
Jan bakato basikasa
Jan bataratak bakato siang
Mahariak mahantam tanah
Jan babana ka pangka langan
Usah ba-utak ka ampu kaki.
Pandai maagak maagiahkan
Budi baiak baso katuju
Muluik manih kacindan murah.
Artinya :
Bergaullah penuh sifat ramah tamah, sopan dan santun, hormat menghormati sesamanya, yang senantiasa mencerminkan tingkah laku yang berlandaskan budi luhur.
d. Nan elok lapangkan hati
Mancari jalan kabaikan
Nan dapek suluah nan tarang
Mampunyai saba jo ridha
Sarato hemat dan cermat
Artinya :
Selalulah di dalam bergaul mempunyai sifat lapang hati dan sabar, tenang dan beribawa, tetapi tegas dan bijaksana, serta mempunyai sifat malu di dalam diri, dan hati-hati.
e. Nak taguah paham dikunci
Jan taruah bak katidiang
Jan baserak bak anjalai
Kok ado rundiang ba nan batin
Patuik baduo jan batigo
Nak jan lahia didanga urang
Artinya :
Yang terlalu lyoal, selalu menyimpan rahasia yang patut dirahasiakan. Bertindak dan berbuat penuh kebijaksanaan.
f. Nak Mulia tepati janji
Kato nan bana ka dipegang
Walau bak mano sangkuik pauik
Asa indak mahambek bana
Namun janji batapati juo
Artinya :
Kalau ingin dimuliakan atau jadi orang yang mulia, selalulah menepati janji yang telah dijanjikan, klecuali mendadak datang halangan.
g. Nak labo bueklah rugi
Namuah bapokok babalanjo
Namuah bajariah bausaho
Marugi kito dahulu
Dek ujuik yakin manjalankan
Lamo lambek tacapai juo
Artinya :
Berusahalah selalu untuk kebutuhan hidup sehingga mencapai keuntungan yang wajar. Dan setiap keuntungan yang ingin hendak dicapai senantiasa menghendaki pengorbanan.
h. Nak kayo kuat mancari
Namuah bajariah bausaho
Namuah bapokok babalanjo
Asa lai angok-angok ikan
Asa lai jiwo-jiwo patuang
Nan tidak dicari juo.
Artinya :
Setiap kesenangan dan kekayaan serta kebahagiaan biasanya dapat dicapai oleh seseorang, terlebih dahulu dengan membanting tulang dan memeras keringat.
Kalau sekiranya ukua jangko yang delapan macam tersebut dapat dilaksanakan oleh seseorang dalam hidup ini secara perorangan maupun secara bermasyarakat, maka bertemulah menurut kaedah adat :
Kok mamahek lah dalam barih
Kok batanam di dalam paga
Tetapi kalau sekiranya tidak dilaksanakan, juga adat mengatakan :
Bakato bak balalai gajah
Bicaro bak katiak ula
Babicaro kapalang aka
Bapikia saba tak ado
Bailimu kapalang paham
Rumah tampak jalan tak tantu
Angan lalu paham tatumbuak
Aka panjang itikad salah
Ukua sampai jangko alah sudah
Hari tibo hukuman jatuah
Di akhirat sajo mangkonyo tahu
Tuhan sandiri manantukan
Jalan dialiah dek rang lalu
Cupak dirubah rang manggaleh.
sumber: azizfamily.wordpress.com
Kamis, 15 Maret 2012
Antara Sunnah dan Bid'ah
Antara Sunnah dan Bid'ah
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulallah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan. Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulallah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim V11 hal.61…Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah. Nabi saw mengetahui bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman ─modernisasi, merajalela kemaksiatan dan lain sebagainya─ maka dibolehkannya hal-hal yang baru yang diadakan ─selama berada dalam kebaikan dan tidak keluar dari garis-garis yang telah ditentukan oleh syariát Islam─ demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman.
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in. Begitu juga kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasarkan keumuman lafadh, bukan ber- dasarkan kekhususan sebab’.
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw., berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw. berarti Jalan Rasulallah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. . Contoh firman Allah swt. dalam surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .
Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah swt. Demikianlah Ar-Raghib Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengatakan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulallah saw. dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulallah saw. dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulallah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulallah saw., itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulallah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulallah saw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan Rasulallah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw. pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak diperintahkan secara khusus oleh Rasulallah saw.! Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa Rasulallah saw. sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para sahabatnya. Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakannya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukannya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulallah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga mereka berpedoman pada firman Allah swt. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulallah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw, dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulallah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”), serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid’ah, maka hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja- kan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulallah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’ ) yang dilakukan oleh para sahabatnya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulallah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulallah saw dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah selain haram. Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْر مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Didalam kitab tafsir Imam Qurtubi juz. 2 halaman 86-87 mengatakan: “ Imam Syafi’i berkata, bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ “.
Selanjutnya Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi rahimahullah berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi: ‘seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah’ (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw., atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya’ (Shahih Muslim hadits no.1017–red) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubi juz 2 hal. 87)
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafi, Imam Ibnul-‘Arabi, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Al-Muhaddits Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi rahimahullah (Imam Nawawi) “Penjelasan mengenai hadits: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya….’, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : ‘semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat’, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela ” . (Syarh An-nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi “ bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi lima bagian, yaitu bid’ah wajib, bid’ah mandub, bid’ah mubah, bid’ah makruh dan bid’ah haram. Bid’ah wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila di tinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis ta’lim dan pesantren. Contoh bid’ah mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan dan bid’ah makruh dan haram sudah jelas di ketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jama’ah tarawih bahwa ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ ”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih bermakmum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Bid’ah ini sungguh nikmat’. ( Shohih Bukhori hadits nr.1906)
c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagainya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam (HR,Bukhori hadits nr.873)
f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, roket-roket dan persenjataan modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru, yang berkaitan dengan peribadatan, seperti mengadakan bacaan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidupnya Rasulallah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulallah saw. atau para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana telah tercantum sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta para ulama lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulallah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulallah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya. Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung ‘Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelumnya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar). Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.. Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya.
Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan keneraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan: Yang dikatakan oleh orang fanatik (extreem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar’i (Rasulallah saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman Allah swt. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung’. (Ali Imran (3) : 104).
Allah swt. berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.;
وَعَنْ أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ فَاعِلُهُ
رواه مسلم)
Artinya: ‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. ( HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulallah saw. bersabda:
‘Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang mengamalkan nya dengan tanpa dikurangi sedikitpun”. Masih banyak lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulallah saw. dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulallah saw dan Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara agama!!
Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulallah saw. berikut ini: “Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulallah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulallah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan kaum awamyang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulallah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah ” . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu antara penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw, para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah swt. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulallah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri. Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.
Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah kita sekarang rujuk hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai amal kebaikan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan perintah Allah swt. atau Nabi saw., dan bagaimana Rasulallah saw. menanggapi masalah itu. Insya Allah dengan adanya beberapa hadits ini para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak pernah diamalkan, diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. selama hal ini tidak merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah boleh diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh agama dan mendapat pahala.
a. Hadits dari Abu Hurairah: “Rasulallah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulallah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah swt. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulallah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
b. Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulallah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
c. Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulallah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulallah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulallah saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287 mengatakan: ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad saw. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasaan yang telah ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk mengetahui makna al-bid’ah
d. Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulallah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantaramu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulallah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
e. Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada suatu saat Rasulallah saw. menugaskan seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulallah saw. Beliau saw.menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulallah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukai nya’ .
Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah saw.. Itu hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun begitu Rasulallah saw. tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya dengan ucapan “Allah menyukainya”.
f. Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau mengimami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulallah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulallah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulallah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulallah saw. menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’. Selanjutnya ia menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin Rasulallah saw. akan menyuruhnya supaya belajar menghafal Surah-surah selain yang selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia mengemukakan alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas), Rasulallah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat’. Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan, bahwa orang boleh membaca berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.
Menurut kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupakan suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulallah saw. Sedangkan sunnah-sunnah yang tidak pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. bila tidak keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada Allah swt.
g. Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu kepada Rasulallah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulallah saw.berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad’.
h. Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulallah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulallah saw. bersabda; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat menggembirakan dari Rasulallah saw. itu disusun atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan ketentuan syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.
i. Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulallah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Jawab seseorang dari kaum; Wahai Rasulallah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya’. Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.
Demikianlah bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulallah saw. terhadap prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena anjuran dari Rasulallah saw. tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.
Pada hadits-hadits tadi Rasulallah saw. juga tidak melarang orang untuk berdo’a dalam waktu sholat dengan lafadz-lafadz do’a yang tidak pernah diajarkan atau diperintahkan oleh beliau saw. dan membaca surah Al-Ikhlas berulang-ulang baik dalam waktu sholat maupun diluar sholat, malah beliau memberi kabar gembira bagi orang yang mengamalkannya. Mengapa justru golongan pengingkar berani mengharamkan, membid’ahkan munkar orang membaca tahlilan/yasinan berulang-ulang yang mana dimajlis itu bukan hanya satu surat saja yang dibaca tetapi bermacam-macam surah dari Al-Qur’an dan do’a-do’a yang baik? Kalau mereka mengatakan sebagai pengikut para Salaf, mengapa tidak mencontoh bagaimana cara Rasulallah saw. Raja dan Guru terbesarnya para Salaf menanggapi amalan-amalan bid’ah (baru) yang telah dikemukakan tadi?
j. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah swt. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat Nabi seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulallah saw.. Setiba dihadapan Rasulallah saw, mereka menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulallah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulallah saw. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhori)
k. Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulallah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak hadits yang tak tercantum disini, yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa dan ijtihadnya sendiri yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh Rasulallah saw.. Semuanya itu diridhoi oleh Rasulallah saw. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasulallah saw. sebelum atau sesudahnya. Karena semua itu bertujuan baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi dan mereka diberi kabar gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan syari’at dinamakan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad. Dengan demikian hadits-hadits diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal kebaik- an selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut bermanfaat bagi masyarakat muslim khususnya malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulallah saw. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulallah saw.
Mungkin ada orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh masyarakat muslimin pada abad pertama Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan generasi berikutnya, banyak menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik. Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut kesanggupannya masing-masing dalam menguasai ilmu pengetahuan, giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk menerangkan hal ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi (pengitaban) ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaimana yang telah kita kenal sekarang ini. Al-Quran waktu zaman Nabi saw. dan zaman khalifah Abubakar ra, masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan. Namun dengan adanya pengitaban tersebut, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi. Bila hal tersebut tidak terjadi, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam.
Para sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa sepeninggal beliau saw. berpendapat bahwa pengkodifikasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian agama Allah swt., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukakan kekhawatirannya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah swt. membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan diperintahkan supaya melaksanakan pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu pekerjaan yang baik!
Untuk lebih detail keterangannya sebagai berikut: Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an dari sahabat Rasulallah saw. (Ahlul yamaamah) di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zaid bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata: Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku; Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”. Berkata Zaid: “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768). Riwayat ini juga dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya jilid 4 halaman 243 mengenai pengitaban ayat-ayat suci Al-Qur’an. Penulisan Alqur’an selesai dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmani, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu.
Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu Rasulallah saw masih hidup. Bahkan sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sendiri masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar perintah Allah swt. dan Rasul-Nya. Akan tetapi banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi saw. membenarkan dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami kemukakan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Hadits-hadits diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah, karena Rasulallah saw. membenarkan serta meridhoi atas kata-kata tambahan dalam sholat dan semua bentuk kebajikan yang diamalkan para sahabat walaupun Nabi saw. belum menetapkan atau memerintahkan amalan-amalan tersebut. Begitu juga prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulallah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah swt. dan untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits Rasulallah saw.:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
(رواه البخاري
‘Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya) karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulallah saw. dalam meng- hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatkan para ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung pada Allah swt. atas pemahaman mereka semacam ini.
Wallohu a’lam bishshowab
http://warkopmbahlalar.com/penjabaran-mengenai-bidah-hasanah-dan-dholalah-lengkap-insyaalloh.html
Sunnah dan bid’ah adalah dua soal yang saling berhadap-hadapan dalam memahami ucapan-ucapan Rasulallah saw. sebagai Shohibusy-Syara’ (yang berwenang menetapkan hukum syari’at). Sunnah dan bid’ah masing-masing tidak dapat ditentukan batas-batas pengertiannya, kecuali jika yang satu sudah ditentukan batas pengertiannya lebih dulu. Tidak sedikit orang yang menetap- kan batas pengertian bid’ah tanpa menetapkan lebih dulu batas pengertian sunnah.
Karena itu mereka terperosok kedalam pemikiran sempit dan tidak dapat keluar meninggalkannya, dan akhirnya mereka terbentur pada dalil-dalil yang berlawanan dengan pengertian mereka sendiri tentang bid’ah. Seandainya mereka menetapkan batas pengertian sunnah lebih dulu tentu mereka akan memperoleh kesimpulan yang tidak berlainan. Umpamanya dalam hadits berikut ini tampak jelas bahwa Rasulallah saw. menekankan soal sunnah lebih dulu, baru kemudian memperingatkan soal bid’ah.
Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam shohihnya dari Jabir ra. bahwa Rasulallah saw. bila berkhutbah tampak matanya kemerah-merahan dan dengan suara keras bersabda: ‘Amma ba’du, sesungguhnya tutur kata yang terbaik ialah Kitabullah (Al-Qur’an) dan petunjuk (huda) yang terbaik ialah petunjuk Muhammad saw. Sedangkan persoalan yang terburuk ialah hal-hal yang diada-adakan, dan setiap hal yang diada-adakan ialah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat’. (diketengahkan juga oleh Imam Bukhori hadits dari Ibnu Mas’ud ra).
Makna hadits diatas ini diperjelas dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Jarir ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda: ‘Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kebajikan ia memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga. Barangsiapa yang didalam Islam merintis jalan kejahatan ia memikul dosanya dan dosa orang yang mengerjakannya sesudah dia tanpa dikurangi sedikit pun juga’ (Shohih Muslim V11 hal.61…Shahih Muslim hadits no.1017, demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah hasanah dan Bid’ah dhalalah. Nabi saw mengetahui bahwa ummatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman ─modernisasi, merajalela kemaksiatan dan lain sebagainya─ maka dibolehkannya hal-hal yang baru yang diadakan ─selama berada dalam kebaikan dan tidak keluar dari garis-garis yang telah ditentukan oleh syariát Islam─ demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan. Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman.
Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits diatas jelas jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in. Begitu juga kaidah pokok yang telah disepakati bulat oleh para ulama menetapkan; ‘Pengertian berdasarkan keumuman lafadh, bukan ber- dasarkan kekhususan sebab’.
Dari hadits Jabir yang pertama diatas kita mengetahui dengan jelas bahwa Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw., berhadap-hadapan dengan bid’ah, yaitu sesuatu yang diada-adakan yang menyalahi Kitabullah dan petunjuk Rasulallah saw. Dari hadits berikutnya kita melihat bahwa jalan kebajikan (sunnah hasanah) berhadap-hadapan dengan jalan kejahatan (sunnah sayyiah). Jadi jelaslah, bahwa yang pokok adalah Sunnah, sedangkan yang menyimpang dan berlawanan dengan sunnah adalah Bid’ah .
Ar-Raghib Al-Ashfahani dalam kitab Mufradatul-Qur’an Bab Sunan hal.245 mengatakan: ‘Sunan adalah jamak dari kata sunnah .Sunnah sesuatu berarti jalan sesuatu, sunnah Rasulallah saw. berarti Jalan Rasulallah saw. yaitu jalan yang ditempuh dan ditunjukkan oleh beliau. Sunnatullah dapat diartikan Jalan hikmah-Nya dan jalan mentaati-Nya. . Contoh firman Allah swt. dalam surat Al-Fatah : 23 : ‘Sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu. Kalian tidak akan menemukan perubahan pada Sunnatullah itu’ .
Penjelasannya ialah bahwa cabang-cabang hukum syari’at sekalipun berlainan bentuknya, tetapi tujuan dan maksudnya tidak berbeda dan tidak berubah, yaitu membersihkan jiwa manusia dan mengantarkan kepada keridhoan Allah swt. Demikianlah Ar-Raghib Al-Ashfahani.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratul Mustaqim hal.76 mengatakan: ‘Sunnah Jahiliyah adalah adat kebiasaan yang berlaku dikalangan masyarakat jahiliyyah. Jadi kata sunnah dalam hal itu berarti adat kebiasaan yaitu jalan atau cara yang berulang-ulang dilakukan oleh orang banyak, baik mengenai soal-soal yang dianggap sebagai peribadatan maupun yang tidak dianggap sebagai peribadatan’.
Demikian juga dikatakan oleh Imam Al-Hafidh didalam Al-Fath dalam tafsirnya mengenai makna kata Fithrah. Ia mengatakan, bahwa beberapa riwayat hadits menggunakan kata sunnah sebagai pengganti kata fithrah, dan bermakna thariqah atau jalan. Imam Abu Hamid dan Al-Mawardi juga mengartikan kata sunnah dengan thariqah (jalan).
Karena itu kita harus dapat memahami sunnah Rasulallah saw. dalam menghadapi berbagai persoalan yang terjadi pada zamannya, yaitu persoalan-persoalan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diperintahkan oleh beliau saw., tetapi dipahami dan dilakukan oleh orang-orang yang berijtihad menurut kesanggupan akal pikirannya dengan tetap berpedoman pada Kitab Allah dan Sunnah Rasulallah saw.
Kita juga harus mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu agar kita dapat memahami jalan atau sunnah yang ditempuh Rasulallah saw. dalam membenarkan, menerima atau menolak sesuatu yang dilakukan orang. Dengan mengikuti dan menelusuri persoalan-persoalan itu kita dapat mempunyai keyakinan yang benar dalam memahami sunnah beliau saw. mengenai soal-soal baru yang terjadi sepeninggal Rasulallah saw. Mana yang baik dan sesuai dengan Sunnah beliau saw., itulah yang kita namakan Sunnah, dan mana yang buruk, tidak sesuai dan bertentangan dengan Sunnah Rasulallah saw., itulah yang kita namakan Bid’ah. Ini semua baru dapat kita ketahui setelah kita dapat membedakan lebih dahulu mana yang sunnah dan mana yang bid’ah.
Mungkin ada orang yang mengatakan bahwa sesuatu kejadian yang dibiarkan (tidak dicela dan tidak dilarang) oleh Rasulallah saw. termasuk kategori sunnah. Itu memang benar, akan tetapi kejadian yang dibiarkan oleh beliau itu merupakan petunjuk juga bagi kita untuk dapat mengetahui bagaimana cara Rasulallah saw. membiarkan atau menerima kenyataan yang terjadi. Perlu juga diketahui bahwa banyak sekali kejadian yang dibiarkan Rasulallah saw. tidak menjadi sunnah dan tidak ada seorangpun yang mengatakan itu sunnah. Sebab, apa yang diperbuat dan dilakukan oleh beliau saw. pasti lebih utama, lebih afdhal dan lebih mustahak diikuti. Begitu juga suatu kejadian atau perbuatan yang didiamkan atau dibiarkan oleh beliau saw. merupakan petunjuk bagi kita bahwa beliau saw. tidak menolak sesuatu yang baik, jika yang baik itu tidak bertentangan dengan tuntunan dan petunjuk beliau saw. serta tidak mendatangkan akibat buruk !
Itulah yang dimaksud oleh kesimpulan para ulama yang mengatakan, bahwa sesuatu yang diminta oleh syara’ baik yang bersifat khusus maupun umum, bukanlah bid’ah, kendati pun sesuatu itu tidak dilakukan dan tidak diperintahkan secara khusus oleh Rasulallah saw.! Mengenai persoalan itu banyak sekali hadits shohih dan hasan yang menunjukkan bahwa Rasulallah saw. sering membenarkan prakarsa baik (umpama amal perbuatan, dzikir, do’a dan lain sebagainya) yang diamalkan oleh para sahabatnya. Tidak lain para sahabat mengambil prakarsa dan mengerjakannya berdasarkan pemikiran dan keyakinannya sendiri, bahwa yang dilakukannya itu merupakan kebajikan yang dianjurkan oleh agama Islam dan secara umum diserukan oleh Rasulallah saw. (lihat hadits yang lalu) begitu juga mereka berpedoman pada firman Allah swt. dalam surat Al-Hajj:77: ‘Hendaklah kalian berbuat kebajikan, agar kalian memperoleh keberuntungan’ .
Walaupun para sahabat berbuat amalan atas dasar prakarsa masing-masing, itu tidak berarti setiap orang dapat mengambil prakarsa, karena agama Islam mempunyai kaidah-kaidah dan pedoman-pedoman yang telah ditetapkan batas-batasnya. Amal kebajikan yang prakarsanya diambil oleh para sahabat Nabi saw. berdasarkan ijtihad dapat dipandang sejalan dengan sunnah Rasulallah saw. jika amal kebajikan itu sesuai dan tidak bertentangan dengan syari’at. Jika menyalahi ketentuan syari’at maka prakarsa itu tidak dapat dibenarkan dan harus ditolak !
Pada dasarnya semua amal kebajikan yang sejalan dengan tuntutan syari’at, tidak bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw, dan tidak mendatangkan madharat/akibat buruk, tidak dapat disebut Bid’ah menurut pengertian istilah syara’. Nama yang tepat adalah Sunnah Hasanah, sebagaimana yang terdapat dalam hadits Rasulallah saw. yang lalu.
Amal kebajikan seperti itu dapat disebut ‘Bid’ah’ hanya menurut pengertian bahasa, karena apa saja yang baru ‘diadakan’ disebut dengan nama Bid’ah.
Ada orang berpegang bahwa istilah bid’ah itu hanya satu saja dengan berdalil sabda Rasulallah saw. “Setiap bid’ah adalah sesat…” (“Kullu bid’atin dholalah”), serta tidak ada istilah bid’ah hasanah, wajib dan sebagainya. Setiap amal yang dikategorikan sebagai bid’ah, maka hukumya haram, karena bid’ah dalam pandangan mereka adalah sesuatu yang haram dikerja- kan secara mutlak.
Sayangnya mereka ini tidak mau berpegang kepada hadits–hadits lain (keterangan lebih mendetail baca halaman selanjutnya) yang membuktikan sikap Rasulallah saw. yang membenarkan dan meridhoi berbagai amal kebajikan tertentu (yang baru ‘diadakan’ ) yang dilakukan oleh para sahabatnya yang sebelum dan sesudahnya tidak ada perintah dari beliau saw.!
Disamping itu banyak sekali amal kebajikan yang dikerjakan setelah wafatnya Rasulallah saw. umpamanya oleh isteri Nabi saw. ‘Aisyah ra, Khalifah ‘Umar bin Khattab serta para sahabat lainnya yang mana amalan-amalan ini tidak pernah adanya petunjuk dari Rasulallah saw dan mereka kategorikan atau ucapkan sendiri sebagai amalan bid’ah (baca uraian selanjutnya), tetapi tidak ada satupun dari para sahabat yang mengatakan bahwa sebutan bid’ah itu adalah otomatis haram, sesat dan tidak ada kata bid’ah selain haram. Untuk mencegah timbulnya kesalah-fahaman mengenai kata Bid’ah itulah para Imam dan ulama Fiqih memisahkan makna Bid’ah menjadi beberapa jenis, misalnya :
Menurut Imam Syafi’i tentang pemahaman bid’ah ada dua riwayat yang menjelaskannya.
Pertama, riwayat Abu Nu’aim;
اَلبِدْعَة ُبِدْعَتَانِ , بِدْعَة ٌمَحْمُودَةٌ وَبِدْعَةِ مَذْمُوْمَةٌ فِْمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم
‘Bid’ah itu ada dua macam, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah, maka itulah bid’ah yang terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah, maka dialah bid’ah yang tercela’.
Kedua, riwayat Al-Baihaqi dalam Manakib Imam Syafi’i :
. اَلمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ, مَا اُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا اَوْ سُنَّةً اَوْ أثَرًا اَوْ اِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضّلالَةُ
وَمَا اُحْدِثَ مِنَ الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا ِمْن ذَالِكَ فَهَذِهِ بِدْعَةٌ غَيْر مَذْمُوْمَةٌ
‘Perkara-perkara baru itu ada dua macam. Pertama, perkara-perkara baru yang menyalahi Al-Qur’an, Hadits, Atsar atau Ijma’. Inilah bid’ah dholalah/ sesat. Kedua, adalah perkara-perkara baru yang mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan salah satu dari yang disebutkan tadi, maka bid’ah yang seperti ini tidaklah tercela’.
Didalam kitab tafsir Imam Qurtubi juz. 2 halaman 86-87 mengatakan: “ Imam Syafi’i berkata, bahwa bid’ah terbagi dua, yaitu bid’ah mahmudah (terpuji) dan bid’ah madzmumah (tercela), maka yang sejalan dengan sunnah maka ia terpuji, dan yang tidak selaras dengan sunnah adalah tercela, beliau berdalil dengan ucapan Umar bin Khattab ra mengenai shalat tarawih: ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ “.
Selanjutnya Al-Hafidh Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi rahimahullah berkata: “Menanggapi ucapan ini (ucapan Imam Syafi’i), maka kukatakan (Imam Qurtubi berkata) bahwa makna hadits Nabi saw yg berbunyi: ‘seburuk buruk permasalahan adalah hal yg baru, dan semua Bid’ah adalah dhalalah’ (wa syarrul umuuri muhdatsaatuha wa kullu bid’atin dhalaalah), yang dimaksud adalah hal-hal yang tidak sejalan dengan Alqur’an dan Sunnah Rasul saw., atau perbuatan Sahabat radhiyallahu ‘anhum, sungguh telah diperjelas mengenai hal ini oleh hadits lainnya: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahala dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barang siapa membuat buat hal baru yang buruk dalam islam, maka baginya dosa dan dosa orang yg mengikutinya’ (Shahih Muslim hadits no.1017–red) dan hadits ini merupakan inti penjelasan mengenai bid’ah yang baik dan bid’ah yang sesat”. (Tafsir Imam Qurtubi juz 2 hal. 87)
Menurut kenyataan memang demikian, ada bid’ah yang baik dan terpuji dan ada pula bid’ah yang buruk dan tercela. Banyak sekali para Imam dan ulama pakar yang sependapat dengan Imam Syafi’i itu. Bahkan banyak lagi yang menetapkan perincian lebih jelas lagi seperti Imam Nawawi, Imam Ibnu ‘Abdussalam, Imam Al-Qurafi, Imam Ibnul-‘Arabi, Imam Al-Hafidh Ibnu Hajar dan lain-lain.
Al-Muhaddits Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf Annawawi rahimahullah (Imam Nawawi) “Penjelasan mengenai hadits: ‘Barangsiapa membuat buat hal baru yang baik dalam islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat-buat hal baru yang dosanya….’, hadits ini merupakan anjuran untuk membuat kebiasaan-kebiasaan yang baik, dan ancaman untuk membuat kebiasaan yang buruk, dan pada hadits ini terdapat pengecualian dari sabda beliau saw : ‘semua yang baru adalah Bid’ah, dan semua yang Bid’ah adalah sesat’, sungguh yang dimaksudkan adalah hal baru yang buruk dan Bid’ah yang tercela ” . (Syarh An-nawawi ‘ala Shahih Muslim juz 7 hal 104-105)
Dan berkata pula Imam Nawawi “ bahwa Ulama membagi bid’ah menjadi lima bagian, yaitu bid’ah wajib, bid’ah mandub, bid’ah mubah, bid’ah makruh dan bid’ah haram. Bid’ah wajib contohnya adalah mencantumkan dalil-dalil pada ucapan-ucapan yang menentang kemungkaran, contoh bid’ah mandub (mendapat pahala bila dilakukan dan tak mendapat dosa bila di tinggalkan) adalah membuat buku-buku ilmu syariah, membangun majelis ta’lim dan pesantren. Contoh bid’ah mubah adalah bermacam-macam dari jenis makanan dan bid’ah makruh dan haram sudah jelas di ketahui, demikianlah makna pengecualian dan kekhususan dari makna yang umum, sebagaimana ucapan Umar ra atas jama’ah tarawih bahwa ‘inilah sebaik-baik bid’ah’ ”. (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 154-155)
Menurut Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Baari 4/318 sebagai berikut: “Pada asalnya bid’ah itu berarti sesuatu yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului. Menurut syara’ bid’ah itu dipergunakan untuk sesuatu yang bertentangan dengan sunnah, maka jadilah dia tercela. Yang tepat bahwa bid’ah itu apabila dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka dia menjadi baik dan jika dia termasuk diantara sesuatu yang dianggap jelek oleh syara’, maka dia menjadi jelek. Jika tidak begitu, maka dia termasuk bagian yang mubah. Dan terkadang bid’ah itu terbagi kepada hukum-hukum yang lima”.
Pendapat beliau ini senada juga yang diungkapkan oleh ulama-ulama pakar berikut ini :
Jalaluddin as-Suyuthi dalam risalahnya Husnul Maqooshid fii ‘Amalil Maulid dan juga dalam risalahnya Al-Mashoobih fii Sholaatit Taroowih; Az-Zarqooni dalam Syarah al Muwattho’ ; Izzuddin bin Abdus Salam dalam Al-Qowaa’id ; As-Syaukani dalam Nailul Author ; Ali al Qoori’ dalam Syarhul Misykaat; Al-Qastholaani dalam Irsyaadus Saari Syarah Shahih Bukhori, dan masih banyak lagi ulama lainnya yang senada dengan Ibnu Hajr ini yang tidak saya kutip disini.
Ada golongan lagi yang menganggap semua bidáh itu dholalah/sesat dan tidak mengakui adanya bidáh hasanah/mahmudah, tetapi mereka sendiri ada yang membagi bidáh menjadi beberapa macam. Ada bidáh mukaffarah (bidáh kufur), bidáh muharramah (bidáh haram) dan bidáh makruh (bidáh yang tidak disukai). Mereka tidak menetapkan adanya bidáh mubah, seolah-olah mubah itu tidak termasuk ketentuan hukum syariát, atau seolah-olah bidáh diluar bidang ibadah tidak perlu dibicarakan.
Bila semua bid’ah (masalah yang baru) adalah dholalah/sesat atau haram, maka sebagian amalan-amalan para sahabat serta para ulama yang belum pernah dilakukan atau diperintahkan Rasulallah saw. semuanya dholalah atau haram, misalnya :
a). Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an, penulisannya serta pengumpulannya (kodifikasinya) sebagai Mushhaf (Kitab) yang dilakukan oleh sahabat Abubakar, Umar bin Khattab dan Zaid bin Tsabit [ra] adalah haram. Padahal tujuan mereka untuk menyelamatkan dan melestarikan keutuhan dan keautentikan ayat-ayat Allah. Mereka khawatir kemungkinan ada ayat-ayat Al-Qur’an yang hilang karena orang-orang yang menghafalnya meninggal.
b). Perbuatan khalifah Umar bin Khattab ra yang mengumpulkan kaum muslimin dalam shalat tarawih bermakmum pada seorang imam adalah haram. Bahkan ketika itu beliau sendiri berkata : ‘Bid’ah ini sungguh nikmat’. ( Shohih Bukhori hadits nr.1906)
c). Pemberian gelar atau titel kesarjanaan seperti; doktor, drs dan sebagainya pada universitas Islam adalah haram, yang pada zaman Rasulallah saw. cukup banyak para sahabat yang pandai dalam belajar ilmu agama, tapi tak satupun dari mereka memakai titel dibelakang namanya.
d). Mengumandangkan adzan dengan pengeras suara, membangun rumah sakit, panti asuhan untuk anak yatim piatu, membangun penjara untuk mengurung orang yang bersalah berbulan-bulan atau bertahun-tahun baik itu kesalahan kecil maupun besar dan sebagainya adalah haram. Sebab dahulu orang yang bersalah diberi hukumannya tidak harus dikurung dahulu.
e). Tambahan adzan sebelum khotbah Jum’at yang dilaksanakan pada zamannya khalifah Usman ra. Sampai sekarang bisa kita lihat dan dengar pada waktu sholat Jum’at baik di Indonesia, di masjid Haram Mekkah dan Madinah dan negara-negara Islam lainnya. Hal ini dilakukan oleh khalifah Usman karena bertambah banyaknya ummat Islam (HR,Bukhori hadits nr.873)
f). Menata ayat-ayat Al-Qur’an dan memberi titik pada huruf-hurufnya, memberi nomer pada ayat-ayatnya. Mengatur juz dan rubu’nya dan tempat-tempat dimana dilakukan sujud tilawah, menjelaskan ayat Makkiyyah dan Madaniyyah pada kof setiap surat dan sebagainya.
g). Begitu juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada ummat Muhammad saw. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru kendali, roket-roket dan persenjataan modern lainnya.
Masih banyak lagi contoh-contoh bid’ah/masalah yang baru, yang berkaitan dengan peribadatan, seperti mengadakan bacaan syukuran waktu memperingati hari kemerdekaan, halal bihalal, memperingati hari ulang tahun berdirinya sebuah negara atau pabrik dan sebagainya (pada waktu memperingati semua ini mereka sering mengadakan bacaan syukuran), yang mana semua ini belum pernah dilakukan pada masa hidupnya Rasulallah saw. serta para pendahulu kita dimasa lampau. Juga didalam manasik haji banyak kita lihat dalam hal peribadatan tidak sesuai dengan zamannya Rasulallah saw. atau para sahabat dan tabi’in umpamanya; pembangunan hotel-hotel disekitar Mina dan tenda-tenda yang pakai full a/c sehingga orang tidak akan kepanasan, nyenyak tidur, menaiki mobil yang tertutup (beratap) untuk ke Arafat, Mina atau kelain tempat yang dituju untuk manasik Haji tersebut dan lain sebagainya.
Sesungguhnya bid’ah (masalah baru) tersebut walaupun tidak pernah dilakukan pada masa Nabi saw. serta para pendahulu kita, selama masalah ini tidak menyalahi syari’at Islam, bukan berarti haram untuk dilakukan.
Kalau semua masalah baru tersebut dianggap bid’ah dholalah (sesat), maka akan tertutup pintu ijtihad para ulama, terutama pada zaman sekarang tehnologi yang sangat maju sekali, tapi alhamdulillah pikiran dan akidah sebagian besar umat muslim tidak sedangkal itu.
Sebagaimana telah tercantum sebelumnya bahwa para ulama diantaranya Imam Syafi’i, Al-Izz bin Abdis Salam, Imam Nawawi dan Ibnu Atsir ra. serta para ulama lainnya menerangkan: “Bid’ah/masalah baru yang diadakan ini bila tidak menyalahi atau menyimpang dari garis-garis syari’at, semuanya mustahab (dibolehkan) apalagi dalam hal kebaikan dan sejalan dengan dalil syar’i adalah bagian dari agama”.
Semua amal kebaikan yang dilakukan para sahabat, kaum salaf sepeninggal Rasulallah saw. telah diteliti para ulama dan diuji dengan Kitabullah, Sunnah Rasulallah saw. dan kaidah-kaidah hukum syari’at. Dan setelah diuji ternyata baik, maka prakarsa tersebut dinilai baik dan dapat diterima. Sebaliknya, bila setelah diuji ternyata buruk, maka hal tersebut dinilai buruk dan dipandang sebagai bid’ah tercela.
Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Iqtidha’us Shiratil-Mustaqim banyak menyebutkan bentuk-bentuk kebaikan dan sunnah yang dilakukan oleh generasi-generasi yang hidup pada abad-abad permulaan Hijriyyah dan zaman berikutnya. Kebajikan-kebajikan yang belum pernah dikenal pada masa hidupnya Nabi Muhammad saw. itu diakui kebaikannya oleh Ibnu Taimiyyah. Beliau tidak melontarkan celaan terhadap ulama-ulama terdahulu yang mensunnahkan kebajikan tersebut, seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abbas, Umar bin Khattab dan lain-lainnya. Diantara kebajikan yang disebutkan oleh beliau dalam kitabnya itu ialah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal diantaranya : Mensunnahkan orang berhenti sejenak disebuah tempat dekat gunung ‘Arafah sebelum wukuf dipadang ‘Arafah bukannya didalam masjid tertentu sebelum Mekkah , mengusap-usap mimbar Nabi saw. didalam masjid Nabawi di Madinah, dan lain sebagainya.
Ibnu Taimiyyah membenarkan pendapat kaum muslimin di Syam yang mensunnahkan shalat disebuah tempat dalam masjid Al-aqsha (Palestina), tempat khalifah Umar dahulu pernah menunaikan sholat. Padahal sama sekali tidak ada nash mengenai sunnahnya hal-hal tersebut diatas. Semua- nya hanyalah pemikiran atau ijtihad mereka sendiri dalam rangka usaha memperbanyak kebajikan, hal mana kemudian diikuti oleh orang banyak dengan i’tikad jujur dan niat baik. Meskipun begitu, dikalangan muslimin pada masa itu tidak ada yang mengatakan: “Kalau hal-hal itu baik tentu sudah diamalkan oleh kaum Muhajirin dan Anshar pada zaman sebelumnya”. (perkataan ini sering diungkapkan oleh golongan pengingkar). Masalah-masalah serupa itu banyak disebut oleh Ibnu Taimiyyah dikitab Iqtidha ini, antara lain soal tawassul (doá perantaran) yang dilakukan oleh isteri Rasulallah saw. ‘Aisyah ra. yaitu ketika ia membuka penutup makam Nabi saw. lalu sholat istisqa (sholat mohon hujan) ditempat itu, tidak beberapa lama turunlah hujan di Madinah, padahal tidak ada nash sama sekali mengenai cara-cara seperti itu. Walaupun itu hal yang baru (bid’ah) tapi dipandang baik oleh kaum muslimin, dan tidak ada sahabat yang mencela dan mengatakan bid’ah dholalah/sesat.
Sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Bukhori dalam shohihnya jilid 1 halaman 304 dari Siti ‘Aisyah ra., bahwasanya ia selalu sholat Dhuha, padahal Aisyah ra. sendiri berkata bahwa ia tidak pernah menyaksikan Rasulallah saw. sholat dhuha. Pada halaman 305 dibuku ini Imam Bukhori juga mengetengahkan sebuah riwayat yang berasal dari Mujahid yang mengatakan : “Saya bersama Úrwah bin Zubair masuk kedalam masjid Nabi saw.. Tiba-tiba kami melihat ‘Abdullah bin Zubair sedang duduk dekat kamar ‘Aisyah ra dan banyak orang lainnya sedang sholat dhuha. Ketika hal itu kami tanyakan kepada ‘Abudllah bin Zubair (mengenai sholat dhuha ini) ia menjawab : “Bidáh”.
‘Aisyah ra seorang isteri Nabi saw. yang terkenal cerdas, telah mengatakan sendiri bahwa dia sholat dhuha sedangkan Nabi saw. tidak mengamalkannya.
Begitu juga ‘Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) mengatakan sholat dhuha adalah bid’ah, tetapi tidak seorangpun yang mengatakan bahwa bid’ah itu bid’ah dholalah yang pelakunya akan dimasukkan keneraka!
Dengan demikian masalah baru yang dinilai baik dan dapat diterima ini disebut bid’ah hasanah. Karena sesuatu yang diperbuat atau dikerjakan oleh isteri Nabi atau para sahabat yang tersebut diatas bukan atas perintah Allah dan Rasul-Nya itu bisa disebut bid’ah tapi sebagai bid’ah hasanah. Semuanya ini dalam pandangan hukum syari’at bukan bid’ah melainkan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad.
Dalam makalah As-Sayyid Muhammad bin Alawiy Al-Maliki Al-Hasani rh yang berjudul Haulal Ihtifal bil Mauliddin Nabawiyyisy Syarif tersebut disebutkan: Yang dikatakan oleh orang fanatik (extreem) bahwa apa-apa yang belum pernah dilakukan oleh kaum salaf, tidaklah mempunyai dalil bahkan tiada dalil sama sekali bagi hal itu. Ini bisa dijawab bahwa tiap orang yang mendalami ilmu ushuluddin mengetahui bahwa Asy-Syar’i (Rasulallah saw.) menyebutnya bid’ahtul hadyi (bid’ah dalam menentukan petunjuk pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya) sunnah, dan menjanjikan pahala bagi pelakunya.
Firman Allah swt. ‘Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung’. (Ali Imran (3) : 104).
Allah swt. berfirman : ‘Hendaklah kalian berbuat kebaikan agar kalian memperoleh keuntungan”. (Al-Hajj:77)
Abu Mas’ud (Uqbah) bin Amru Al-Anshory ra berkata; bersabda Rasulallah saw.;
وَعَنْ أبِي مَسْعُوْدِ (ر) عُقْبَةُ ِبنْ عَمْرُو الأ نْصَارِيُّ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله .صَ. : مَنْ دَلَّ عَلىَ خَيْرٍ فَلَهُ مِثْـلُ أَجْرُ فَاعِلُهُ
رواه مسلم)
Artinya: ‘Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapat pahala sama dengan yang mengerjakannya’. ( HR.Muslim)
Dalam hadits riwayat Muslim Rasulallah saw. bersabda:
‘Barangsiapa menciptakan satu gagasan yang baik dalam Islam maka dia memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang melaksanakannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun, dan barangsiapa menciptakan satu gagasan yang jelek dalam Islam maka dia terkena dosanya dan juga dosa orang-orang yang mengamalkan nya dengan tanpa dikurangi sedikitpun”. Masih banyak lagi hadits yang serupa/semakna diatas riwayat Muslim dari Abu Hurairah dan dari Ibnu Mas’ud ra.
Sebagian golongan memberi takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah dalam hadits diatas adalah; Apa-apa yang telah ditetapkan oleh Rasulallah saw. dan para Khulafa’ur Roosyidin, bukan gagasan-gagasan baik yang tidak terjadi pada masa Rasulallah saw dan Khulafa’ur Rosyidin. Yang lain lagi memberikan takwil bahwa yang dimaksud dengan kalimat sunnah hasanah dalam hadits itu adalah; sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan manfaat, sedangkan maksud sunnah sayyiah/buruk adalah sesuatu yang diada-adakan oleh manusia daripada perkara-perkara keduniaan yang mendatangkan bahaya dan kemudharatan.
Dua macam pembatasan mereka diatas ini mengenai makna hadits yang telah kami kemukakan itu merupakan satu bentuk pembatasan hadits dengan tanpa dalil, karena secara jelas hadits tersebut membenarkan adanya gagasan-gagasan kebaikan pada masa kapanpun dengan tanpa ada pembatasan pada masa-masa tertentu. Juga secara jelas hadits itu menunjuk kepada semua perkara yang diadakan dengan tanpa ada contoh yang mendahului baik dia itu dari perkara-perkara dunia ataupun perkara-perkara agama!!
Kami perlu tambahkan mengenai makna atau keterangan hadits Rasulallah saw. berikut ini: “Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah para Khalifah Rasyidun sepeninggalku”. (HR.Abu Daud dan Tirmidzi).
Yang dimaksud sunnah dalam hadits itu adalah thariqah yakni jalan (baca keterangan sebelumnya), cara atau kebijakan; dan yang dimaksud Khalifah Rasyidun ialah para penerus kepemimpinan beliau yang lurus .Sebutan itu tidak terbatas berlaku bagi empat Khalifah sepeninggal Rasulallah saw. saja, tetapi dapat diartikan lebih luas, berdasarkan makna Hadits yang lain : “Para ulama adalah ahli-waris para Nabi “. Dengan demikian hadits itu dapat berarti dan berlaku pula para ulama dikalangan kaum muslimin berbagai zaman, mulai dari zaman kaum Salaf (dahulu), zaman kaum Tabi’in, Tabi’it-Tabi’in dan seterusnya; dari generasi ke generasi, mereka adalah Ulul-amri yang disebut dalam Al-Qur’an surat An-Nisa : 63 : “Sekiranya mereka menyerahkan (urusan itu) kepada Rasulallah dan Ulul-amri (orang-orang yang mengurus kemaslahatan ummat) dari mereka sendiri, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahui dari mereka (ulul-amri)”.
Para alim-ulamabukan kaum awamyang mengurus kemaslahatan ummat Islam, khususnya dalam kehidupan beragama. Sebab, mereka itulah yang mengetahui ketentuan-ketentuan dan hukum-hukum agama. Ibnu Mas’ud ra. menegaskan : “Allah telah memilih Muhammad saw. (sebagai Nabi dan Rasulallah) dan telah pula memilih sahabat-sahabatnya. Karena itu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, baik pula dalam pandangan Allah ” . Demikian yang diberitakan oleh Imam Ahmad bin Hanbal didalam Musnad-nya dan dinilainya sebagai hadits Hasan (hadits baik).
Dengan pengertian penakwilan kalimat sunnah dalam hadits diatas yang salah ini golongan tertentu ini dengan mudah membawa keumuman hadits kullu bid’atin dholalah (semua bid’ah adalah sesat) terhadap semua perkara baru, baik yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at maupun yang tidak. Berarti mereka telah mencampur-aduk kata bid’ah itu antara penggunaannya yang syar’i dan yang lughawi (secara bahasa) dan mereka telah terjebak dengan ketidak pahaman bahwa keumuman yang terdapat pada hadits hanyalah terhadap bid’ah yang syar’i yaitu setiap perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar syari’at. Jadi bukan terhadap bid’ah yang lughawi yaitu setiap perkara baru yang diadakan dengan tanpa adanya contoh.
Bid’ah lughawi inilah yang terbagi dua yang pertama adalah mardud yaitu perkara baru yang bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang disebut bid’ah dholalah, sedangkan yang kedua adalah kepada yang maqbul yaitu perkara baru yang tidak bertentangan dengan nash dan dasar-dasar syari’at dan inilah yang dapat diterima walaupun terjadinya itu pada masa-masa dahulu/pertama atau sesudahnya.
Barangsiapa yang memasukkan semua perkara baru yang tidak pernah dikerjakan oleh Rasulallah saw, para sahabat dan mereka yang hidup pada abad-abad pertama itu kedalam bid’ah dholalah, maka dia haruslah mendatangkan terlebih dahulu nash-nash yang khos (khusus) untuk masalah yang baru itu maupun yang ‘am (umum), agar yang demikian itu tidak bercampur-aduk dengan bid’ah yang maqbul berdasarkan penggunaannya yang lughawi. Karena tuduhan bid’ah dholalah pada suatu amalan sama halnya dengan tuduhan mengharamkan amalan tersebut.
Kalau kita baca hadits dan firman Ilahi dibuku ini, kita malah diharuskan sebanyak mungkin menjalankan ma’ruf (kebaikan) yaitu semua perbuatan yang mendekatkan kita kepada Allah swt. dan menjauhi yang mungkar (keburukan) yaitu semua perbuatan yang menjauhkan kita dari pada-Nya agar kita memperoleh keuntungan (pahala dan kebahagian didunia maupun diakhirat kelak). Begitupun juga orang yang menunjukkan kepada kebaikan tersebut akan diberi oleh Allah swt. pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya.
Apakah kita hanya berpegang pada satu hadits yang kalimatnya: semua bid’ah dholalah dan kita buang ayat ilahi dan hadits-hadits yang lain yang menganjurkan manusia selalu berbuat kepada kebaikan? Sudah tentu Tidak! Yang benar ialah bahwa kita harus berpegang pada semua hadits yang telah diterima kebenarannya oleh jumhurul-ulama serta tidak hanya melihat tekstual kalimatnya saja tapi memahami makna dan motif setiap ayat Ilahi dan sunnah Rasulallah saw. sehingga ayat ilahi dan sunnah ini satu sama lain tidak akan berlawanan maknanya.
Berbuat kebaikan itu sangat luas sekali maknanya bukan hanya masalah peribadatan saja. Termasuk juga kebaikan adalah hubungan baik antara sesama manusia (toleransi) baik antara sesama muslimin maupun antara muslim dan non-muslim (yang tidak memerangi kita), antara manusia dengan hewan, antara manusia dan alam semesta. Sebagaimana para ulama pakar Islam klasik pendahulu kita sudah menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak akan diampuni kecuali oleh orang yang bersangkutan, sementara hak asasi Tuhan diurus oleh diri-Nya sendiri. Manusia manapun tidak pernah diperkenankan membuat klaim-klaim yang dianggap mewakili hak Tuhan. Dalam konsep tauhid, Allah lebih dari mampu untuk melindungi hak-hak pribadi-Nya. Karena itu, kita harus berhati-hati untuk tidak melanggar hak-hak asasi manusia. Dalam Islam, Tuhan sendiri pun tidak akan mengampuni pelanggaran terhadap hak asasi orang lain, kecuali yang bersangkutan telah memberi maaf.
Contoh-contoh bid’ah yang diamalkan para sahabat
Marilah kita sekarang rujuk hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai amal kebaikan yang dilakukan oleh para sahabat Nabi saw. atas prakarsa mereka sendiri, bukan perintah Allah swt. atau Nabi saw., dan bagaimana Rasulallah saw. menanggapi masalah itu. Insya Allah dengan adanya beberapa hadits ini para pembaca cukup jelas bahwa semua hal-hal yang baru (bid’ah) yang sebelum atau sesudahnya tidak pernah diamalkan, diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. selama hal ini tidak merubah dan keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at itu adalah boleh diamalkan apalagi dalam bidang kebaikan itu malah dianjurkan oleh agama dan mendapat pahala.
a. Hadits dari Abu Hurairah: “Rasulallah saw. bertanya pada Bilal ra seusai sholat Shubuh : ‘Hai Bilal, katakanlah padaku apa yang paling engkau harapkan dari amal yang telah engkau perbuat, sebab aku mendengar suara terompahmu didalam surga’. Bilal menjawab : Bagiku amal yang paling kuharapkan ialah aku selalu suci tiap waktu (yakni selalu dalam keadaan berwudhu) siang-malam sebagaimana aku menunaikan shalat “. (HR Bukhori, Muslim dan Ahmad bin Hanbal).
Dalam hadits lain yang diketengahkan oleh Tirmidzi dan disebutnya sebagai hadits hasan dan shohih, oleh Al-Hakim dan Ad-Dzahabi yang mengakui juga sebagai hadits shohih ialah Rasulallah saw. meridhoi prakarsa Bilal yang tidak pernah meninggalkan sholat dua rakaat setelah adzan dan pada tiap saat wudhu’nya batal, dia segera mengambil air wudhu dan sholat dua raka’at demi karena Allah swt. (lillah).
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fath mengatakan: Dari hadits tersebut dapat diperoleh pengertian, bahwa ijtihad menetapkan waktu ibadah diperbolehkan. Apa yang dikatakan oleh Bilal kepada Rasulallah saw.adalah hasil istinbath (ijtihad)-nya sendiri dan ternyata dibenarkan oleh beliau saw. (Fathul Bari jilid 111/276).
b. Hadits lain berasal dari Khabbab dalam Shahih Bukhori mengenai perbuatan Khabbab shalat dua rakaat sebagai pernyataan sabar (bela sungkawa) disaat menghadapi orang muslim yang mati terbunuh. (Fathul Bari jilid 8/313).
Dua hadits tersebut kita mengetahui jelas, bahwa Bilal dan Khabbab telah menetapkan waktu-waktu ibadah atas dasar prakarsanya sendiri-sendiri. Rasulallah saw. tidak memerintahkan hal itu dan tidak pula melakukannya, beliau hanya secara umum menganjurkan supaya kaum muslimin banyak beribadah. Sekalipun demikian beliau saw. tidak melarang, bahkan membenarkan prakarsa dua orang sahabat itu.
c. Hadits riwayat Imam Bukhori dalam shohihnya II :284, hadits berasal dari Rifa’ah bin Rafi’ az-Zuraqi yang menerangkan bahwa:
“Pada suatu hari aku sesudah shalat dibelakang Rasulallah saw. Ketika berdiri (I’tidal) sesudah ruku’ beliau saw. mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’. Salah seorang yang ma’mum menyusul ucapan beliau itu dengan berdo’a: ‘Rabbana lakal hamdu hamdan katsiiran thayyiban mubarakan fiihi’ (Ya Tuhan kami, puji syukur sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya atas limpahan keberkahan-Mu). Setelah shalat Rasulallah saw. bertanya : ‘Siapa tadi yang berdo’a?’. Orang yang bersangkutan menjawab: Aku, ya Rasul- Allah. Rasulallah saw. berkata : ‘Aku melihat lebih dari 30 malaikat ber-rebut ingin mencatat do’a itu lebih dulu’ “.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Fath II:287 mengatakan: ‘ Hadits tersebut dijadikan dalil untuk membolehkan membaca suatu dzikir dalam sholat yang tidak diberi contoh oleh Nabi saw. (ghair ma’tsur) jika ternyata dzikir tersebut tidak bertolak belakang atau bertentangan dengan dzikir yang ma’tsur dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad saw. Disamping itu, hadits tersebut mengisyaratkan bolehnya mengeraskan suara bagi makmum selama tidak mengganggu orang yang ada didekatnya…’.
Al-Hafidh dalam Al-Fath mengatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan juga diperbolehkannya orang berdo’a atau berdzikir diwaktu shalat selain dari yang sudah biasa, asalkan maknanya tidak berlawanan dengan kebiasaan yang telah ditentukan (diwajibkan). Juga hadits itu memperbolehkan orang mengeraskan suara diwaktu shalat dalam batas tidak menimbulkan keberisikan.
Lihat pula kitab Itqan Ash-Shan’ah Fi Tahqiq untuk mengetahui makna al-bid’ah karangan Imam Muhaddis Abdullah bin Shiddiq Al-Ghimary untuk mengetahui makna al-bid’ah
d. Hadits serupa diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Anas bin Malik ra. “Seorang dengan terengah-engah (Hafazahu Al-Nafs) masuk kedalam barisan (shaf). Kemudian dia mengatakan (dalam sholatnya) al-hamdulillah hamdan katsiran thayyiban mubarakan fihi (segala puji hanya bagi Allah dengan pujian yang banyak, bagus dan penuh berkah). Setelah Rasulallah saw. selesai dari sholatnya, beliau bersabda : ‘Siapakah diantaramu yang mengatakan beberapa kata (kalimat) (tadi)’ ? Orang-orang diam. Lalu beliau saw. bertanya lagi: ‘Siapakah diantaramu yang mengatakannya ? Sesungguhnya dia tidak mengatakan sesuatu yang percuma’. Orang yang datang tadi berkata: ‘Aku datang sambil terengah-engah (kelelahan) sehingga aku mengatakannya’. Maka Rasulallah saw. bersabda: ‘Sungguh aku melihat dua belas malaikat memburunya dengan cepat, siapakah diantara mereka (para malaikat) yang mengangkatkannya (amalannya ke Hadhirat Allah) “. (Shohih Muslim 1:419 ).
e. Dalam Kitabut-Tauhid Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra. yang mengatakan: “Pada suatu saat Rasulallah saw. menugaskan seorang dengan beberapa temannya ke suatu daerah untuk menangkal serangan kaum musyrikin. Tiap sholat berjama’ah, selaku imam ia selalu membaca Surat Al-Ikhlas di samping Surah lainnya sesudah Al-Fatihah. Setelah mereka pulang ke Madinah, seorang diantaranya memberitahukan persoalan itu kepada Rasulallah saw. Beliau saw.menjawab : ‘Tanyakanlah kepadanya apa yang dimaksud’. Atas pertanyaan temannya itu orang yang bersangkutan menjawab : ‘Karena Surat Al-Ikhlas itu menerangkan sifat ar-Rahman, dan aku suka sekali membacanya’. Ketika jawaban itu disampaikan kepada Rasulallah saw. beliau berpesan : ‘Sampaikan kepadanya bahwa Allah menyukai nya’ .
Apa yang dilakukan oleh orang tadi tidak pernah dilakukan dan tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah saw.. Itu hanya merupakan prakarsa orang itu sendiri. Sekalipun begitu Rasulallah saw. tidak mempersalahkan dan tidak pula mencelanya, bahkan memuji dan meridhoinya dengan ucapan “Allah menyukainya”.
f. Bukhori dalam Kitabus Sholah hadits yang serupa diatas dari Anas bin Malik yang menceriterakan bahwa: “Beberapa orang menunaikan shalat dimasjid Quba. Orang yang mengimami shalat itu setelah membaca surah Al-Fatihah dan satu surah yang lain selalu menambah lagi dengan surah Al-Ikhlas. Dan ini dilakukannya setiap rakaat. Setelah shalat para ma’mum menegurnya: Kenapa anda setelah baca Fatihah dan surah lainnya selalu menambah dengan surah Al-Ikhlas? Anda kan bisa memilih surah yang lain dan meninggalkan surah Al-Ikhlas atau membaca surah Al-Ikhlas tanpa membaca surah yang lain ! Imam tersebut menjawab : Tidak !, aku tidak mau meninggalkan surah Al-Ikhlas kalau kalian setuju, aku mau mengimami kalian untuk seterusnya tapi kalau kalian tidak suka aku tidak mau mengimami kalian. Karena para ma’mum tidak melihat orang lain yang lebih baik dan utama dari imam tadi mereka tidak mau diimami oleh orang lain. Setiba di Madinah mereka menemui Rasulallah saw. dan menceriterakan hal tersebut pada beliau. Kepada imam tersebut Rasulallah saw. bertanya: ‘Hai, fulan, apa sesungguhnya yang membuatmu tidak mau menuruti permintaan teman-temanmu dan terus menerus membaca surat Al-Ikhlas pada setiap rakaat’? Imam tersebut menjawab: ‘Ya Rasulallah, aku sangat mencintai Surah itu’. Beliau saw. berkata: ‘Kecintaanmu kepada Surah itu akan memasukkan dirimu ke dalam surga’ “..
Mengenai makna hadits ini Imam Al-Hafidh dalam kitabnya Al-Fath mengatakan antara lain; ‘Orang itu berbuat melebihi kebiasaan yang telah ditentukan karena terdorong oleh kecintaannya kepada surah tersebut. Namun Rasulallah saw. menggembirakan orang itu dengan pernyataan bahwa ia akan masuk surga. Hal ini menunjukkan bahwa beliau saw. meridhainya’.
Imam Nashiruddin Ibnul Munir menjelaskan makna hadits tersebut dengan menegaskan : ‘Niat atau tujuan dapat mengubah kedudukan hukum suatu perbuatan’. Selanjutnya ia menerangkan; ‘Seumpama orang itu menjawab dengan alasan karena ia tidak hafal Surah yang lain, mungkin Rasulallah saw. akan menyuruhnya supaya belajar menghafal Surah-surah selain yang selalu dibacanya berulang-ulang. Akan tetapi karena ia mengemukakan alasan karena sangat mencintai Surah itu (yakni Al-Ikhlas), Rasulallah saw. dapat membenarkannya, sebab alasan itu menunjukkan niat baik dan tujuan yang sehat’. Lebih jauh Imam Nashiruddin mengatakan ; ‘Hadits tersebut juga menunjukkan, bahwa orang boleh membaca berulang-ulang Surah atau ayat-ayat khusus dalam Al-Qur’an menurut kesukaannya. Kesukaan demikian itu tidak dapat diartikan bahwa orang yang bersangkutan tidak menyukai seluruh isi Al-Qur’an atau meninggalkannya’.
Menurut kenyataan, baik para ulama zaman Salaf maupun pada zaman-zaman berikutnya, tidak ada yang mengatakan perbuatan seperti itu merupakan suatu bid’ah sesat, dan tidak ada juga yang mengatakan bahwa perbuat- an itu merupakan sunnah yang tetap. Sebab sunnah yang tetap dan wajib dipertahankan serta dipelihara baik-baik ialah sunnah yang dilakukan dan diperintahkan oleh Rasulallah saw. Sedangkan sunnah-sunnah yang tidak pernah dijalankan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. bila tidak keluar dari ketentuan syari’at dan tetap berada didalam kerangka amal kebajikan yang diminta oleh agama Islam itu boleh diamalkan apalagi dalam persoalan berdzikir kepada Allah swt.
g. Al-Bukhori mengetengahkan sebuah hadits tentang Fadha’il (keutamaan) Surah Al-Ikhlas berasal dari Sa’id Al-Khudriy ra. yang mengatakan, bahwa ia mendengar seorang mengulang-ulang bacaan Qul huwallahu ahad…. Keesokan harinya ia ( Sa’id Al-Khudriy ra) memberitahukan hal itu kepada Rasulallah saw., dalam keadaan orang yang dilaporkan itu masih terus mengulang-ulang bacaannya. Menanggapi laporan Sa’id itu Rasulallah saw.berkata : ‘Demi Allah yang nyawaku berada ditanganNya, itu sama dengan membaca sepertiga Qur’an’.
Imam Al-Hafidh mengatakan didalam Al-Fathul-Bari; bahwa orang yang disebut dalam hadits itu ialah Qatadah bin Nu’man. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ahmad bin Tharif dari Abu Sa’id, yang mengatakan, bahwa sepanjang malam Qatadah bin Nu’man terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad, tidak lebih. Mungkin yang mendengar adalah saudaranya seibu (dari lain ayah), yaitu Abu Sa’id yang tempat tinggalnya berdekatan sekali dengan Qatadah bin Nu’man. Hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Malik bin Anas, bahwa Abu Sa’id mengatakan: ‘Tetanggaku selalu bersembahyang di malam hari dan terus-menerus membaca Qul huwallahu ahad’.
h. Ashabus-Sunan, Imam Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Hibban dalam Shohih-nya meriwayatkan sebuah hadits berasal dari ayah Abu Buraidah yang menceriterakan kesaksiannya sendiri sebagai berikut: ‘Pada suatu hari aku bersama Rasulallah saw. masuk kedalam masjid Nabawi (masjid Madinah). Didalamnya terdapat seorang sedang menunaikan sholat sambil berdo’a; Ya Allah, aku mohon kepada-Mu dengan bersaksi bahwa tiada tuhan selain Engkau. Engkaulah Al-Ahad, As-Shamad, Lam yalid wa lam yuulad wa lam yakullahu kufuwan ahad’. Mendengar do’a itu Rasulallah saw. bersabda; ‘Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya, dia mohon kepada Allah dengan Asma-Nya Yang Maha Besar, yang bila dimintai akan memberi dan bila orang berdo’a kepada-Nya Dia akan menjawab’.
Tidak diragukan lagi, bahwa do’a yang mendapat tanggapan sangat menggembirakan dari Rasulallah saw. itu disusun atas dasar prakarsa orang yang berdo’a itu sendiri, bukan do’a yang diajarkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw. kepadanya. Karena susunan do’a itu sesuai dengan ketentuan syari’at dan bernafaskan tauhid, maka beliau saw. menanggapinya dengan baik, membenarkan dan meridhoinya.
i. Hadits dari Ibnu Umar katanya; “Ketika kami sedang melakukan shalat bersama Nabi saw. ada seorang lelaki dari yang hadir yang mengucapkan ‘Allahu Akbaru Kabiiran Wal Hamdu Lillahi Katsiiran Wa Subhaanallahi Bukratan Wa Ashiila’. Setelah selesai sholatnya, maka Rasulallah saw. bertanya; ‘Siapakah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi? Jawab seseorang dari kaum; Wahai Rasulallah, akulah yang mengucapkan kalimat-kalimat tadi. Sabda beliau saw.; ‘Aku sangat kagum dengan kalimat-kalimat tadi sesungguhnya langit telah dibuka pintu-pintunya karenanya’. Kata Ibnu Umar: Sejak aku mendengar ucapan itu dari Nabi saw. maka aku tidak pernah meninggalkan untuk mengucapkan kalimat-kalimat tadi.” (HR. Muslim dan Tirmidzi). As-Shan’ani ‘Abdurrazzaq juga mengutipnya dalam Al-Mushannaf.
Demikianlah bukti yang berkaitan dengan pembenaran dan keridhaan Rasulallah saw. terhadap prakarsa-prakarsa baru yang berupa do’a-do’a dan bacaan surah di dalam sholat, walaupun beliau saw. sendiri tidak pernah melakukannya atau memerintahkannya. Kemudian Ibnu Umar mengamalkan hal tersebut bukan karena anjuran dari Rasulallah saw. tapi karena mendengar jawaban beliau saw. mengenai bacaan itu.
Pada hadits-hadits tadi Rasulallah saw. juga tidak melarang orang untuk berdo’a dalam waktu sholat dengan lafadz-lafadz do’a yang tidak pernah diajarkan atau diperintahkan oleh beliau saw. dan membaca surah Al-Ikhlas berulang-ulang baik dalam waktu sholat maupun diluar sholat, malah beliau memberi kabar gembira bagi orang yang mengamalkannya. Mengapa justru golongan pengingkar berani mengharamkan, membid’ahkan munkar orang membaca tahlilan/yasinan berulang-ulang yang mana dimajlis itu bukan hanya satu surat saja yang dibaca tetapi bermacam-macam surah dari Al-Qur’an dan do’a-do’a yang baik? Kalau mereka mengatakan sebagai pengikut para Salaf, mengapa tidak mencontoh bagaimana cara Rasulallah saw. Raja dan Guru terbesarnya para Salaf menanggapi amalan-amalan bid’ah (baru) yang telah dikemukakan tadi?
j. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri tentang Ruqyah yakni sistem pengobatan dengan jalan berdo’a kepada Allah swt. atau dengan jalan bertabarruk pada ayat-ayat Al-Qur’an. Sekelompok sahabat Nabi saw. yang sempat singgah pada pemukiman suku arab badui sewaktu mereka dalam perjalanan. Karena sangat lapar mereka minta pada orang-orang suku tersebut agar bersedia untuk menjamu mereka. Tapi permintaan ini ditolak. Pada saat itu kepala suku arab badui itu disengat binatang berbisa sehingga tidak dapat jalan. Karena tidak ada orang dari suku tersebut yang bisa mengobatinya, akhirnya mereka mendekati sahabat Nabi seraya berkata: Siapa diantara kalian yang bisa mengobati kepala suku kami yang disengat binatang berbisa? Salah seorang sahabat sanggup menyembuhkannya tapi dengan syarat suku badui mau memberikan makanan pada mereka. Hal ini disetujui oleh suku badui tersebut. Maka sahabat Nabi itu segera mendatangi kepala suku lalu membacakannya surah al-Fatihah, seketika itu juga dia sembuh dan langsung bisa berjalan. Maka segeralah diberikan pada para sahabat beberapa ekor kambing sesuai dengan perjanjian. Para sahabat belum berani membagi kambing itu sebelum menghadap Rasulallah saw.. Setiba dihadapan Rasulallah saw, mereka menceriterakan apa yang telah mereka lakukan terhadap kepala suku itu. Rasulallah saw. bertanya ; ‘Bagaimana engkau tahu bahwa surah al-Fatihah itu dapat menyembuhkan’? Rasulallah saw. membenarkan mereka dan ikut memakan sebagian dari daging kambing tersebut “. (HR.Bukhori)
k. Abu Daud, At-Tirmudzi dan An-Nasa’i mengetengahkan sebuah riwayat hadits berasal dari paman Kharijah bin Shilt yang mengatakan; “Pada suatu hari ia melihat banyak orang bergerombol dan ditengah-tengah mereka terdapat seorang gila dalam keadaan terikat dengan rantai besi. Kepada paman Kharijah itu mereka berkata: ‘Anda tampaknya datang membawa kebajikan dari orang itu (yang dimaksud Rasulallah saw.), tolonglah sembuhkan orang gila ini’. Paman Kharijah kemudian dengan suara lirih membaca surat Al-Fatihah, dan ternyata orang gila itu menjadi sembuh”. (Hadits ini juga diketengahkan oleh Al-Hafidh didalam Al-Fath)
Masih banyak hadits yang tak tercantum disini, yang meriwayatkan amal perbuatan para sahabat atas dasar prakarsa dan ijtihadnya sendiri yang tidak dijalani serta dianjurkan oleh Rasulallah saw.. Semuanya itu diridhoi oleh Rasulallah saw. dan beliau memberi kabar gembira pada mereka. Amalan-amalan tersebut juga tidak diperintah atau dianjurkan oleh Rasulallah saw. sebelum atau sesudahnya. Karena semua itu bertujuan baik, tidak melanggar syariát maka oleh Nabi saw. diridhoi dan mereka diberi kabar gembira. Perbuatan-perbuatan tersebut dalam pandangan syari’at dinamakan sunnah mustanbathah yakni sunnah yang ditetapkan berdasarkan istinbath atau hasil ijtihad. Dengan demikian hadits-hadits diatas bisa dijadikan dalil untuk setiap amal kebaik- an selama tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan syari’at Islam itu mustahab/baik hukumnya, apalagi masalah tersebut bermanfaat bagi masyarakat muslim khususnya malah dianjurkan oleh agama.
Kalau kita teliti hadits-hadits diatas tersebut banyak yang berkaitan dengan masalah shalat yaitu suatu ibadah pokok dan terpenting dalam Islam. Sebagaimana Rasulallah saw. telah bersabda :
صَلُُوْا كَمَا رَأيْتُمُوْنِي أصَلِي (رواه البخاري
‘Hendaklah kamu sholat sebagaimana kalian melihat aku sholat’. (HR Bukhori).
Sekalipun demikian beliau saw. dapat membenarkan dan meridhoi tambahan tambahan tertentu yang berupa do’a dan bacaan surah atas prakarsa mereka itu. Karena beliau saw. memandang do’a dan bacaan surah tersebut diatas tidak keluar dari batas-batas yang telah ditentukan oleh syari’at dan juga bernafaskan tauhid. Bila ijtihad dan amalan para sahabat itu melanggar dan merubah hukum-hukum yang telah ditentukan oleh syari’at, pasti akan ditegur dan dilarang oleh Rasulallah saw.
Mungkin ada orang yang bertanya-tanya lagi; Bagaimanakah pendapat orang tentang penetapan sesuatu yang disebut sunnah atau mustahab, yaitu penetapan yang dilakukan oleh masyarakat muslimin pada abad pertama Hijriyah, padahal apa yang dikatakan sunnah atau mustahab itu tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.?
Memang benar, bahwa masyarakat yang hidup pada zaman abad pertama Hijriyah dan generasi berikutnya, banyak menetapkan hal-hal yang bersifat mustahab dan baik. Pada masa itu banyak sekali para ulama yang menurut kesanggupannya masing-masing dalam menguasai ilmu pengetahuan, giat melakukan ijtihad (studi mendalam untuk mengambil kesimpulan hukum) dan menetapkan suatu cara yang dipandang baik atau mustahab.
Untuk menerangkan hal ini baiklah kita ambil contoh yang paling mudah dipahami dan yang pada umumnya telah dimengerti oleh kaum muslimin, yaitu soal kodifikasi (pengitaban) ayat-ayat suci Al-Qur’an, sebagaimana yang telah kita kenal sekarang ini. Al-Quran waktu zaman Nabi saw. dan zaman khalifah Abubakar ra, masih bertebaran di tembok-tembok, di kulit onta, hafalan para sahabat ra yang hanya sebagian dituliskan. Namun dengan adanya pengitaban tersebut, sekarang kita masih mengenal Al-Quran secara utuh dan dengan adanya Bid’ah Hasanah ini pula kita masih mengenal hadits-hadits Rasulullah saw, maka jadilah Islam ini kokoh dan Abadi. Bila hal tersebut tidak terjadi, maka akan muncul beribu-ribu Versi Al-Quran di zaman sekarang, karena semua orang akan mengumpulkan dan membukukannya, yang masing-masing dengan riwayatnya sendiri, maka hancurlah Al-Quran dan hancurlah Islam.
Para sahabat Nabi saw. sendiri pada masa-masa sepeninggal beliau saw. berpendapat bahwa pengkodifikasian ayat-ayat suci Al-Qur’an adalah bid’ah sayyiah. Mereka khawatir kalau-kalau pengkodifikasian itu akan mengakibatkan rusaknya kemurnian agama Allah swt., Islam. ‘Umar bin Khattab ra. sendiri sampai merasa takut kalau-kalau dikemudian hari ayat-ayat Al-Qur’an akan lenyap karena wafatnya para sahabat Nabi saw. yang hafal ayat-ayat Al-Qur’an.
Ia mengemukakan kekhawatirannya itu kepada Khalifah Abu Bakra ra. dan mengusulkan supaya Khalifah memerintahkan pengitaban ayat-ayat Al-Qur’an. Tetapi ketika itu Khalifah Abu Bakar menolak usul ‘Umar dan berkata kepada ‘Umar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? ‘Umar bin Khattab ra. menjawab; Itu merupakan hal yang baik. Namun, tidak berapa lama kemudian Allah swt. membukakan pikiran Khalifah Abu Bakar ra seperti yang dibukakan lebih dulu pada pikiran ‘Umar bin Khattab ra, dan akhirnya bersepakatlah dua orang sahabat Nabi itu untuk mengitabkaan ayat-ayat Al-Qur’an. Khalifah Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit dan diperintahkan supaya melaksanakan pengitabatan ayat-ayat Al-Qur’an itu. Zaid bin Tsabit ra. juga menjawab kepada Abu Bakar; Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulallah saw.? Abu Bakar menjawab kepadanya; Itu pekerjaan yang baik!
Untuk lebih detail keterangannya sebagai berikut: Ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para Huffadh (yang hafal) Alqur’an dan Ahli Alqur’an dari sahabat Rasulallah saw. (Ahlul yamaamah) di zaman Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, berkata Abubakar Ashiddiq ra kepada Zaid bin Tsabit ra : “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Alqur’an, aku berkata: Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah..?, maka Umar berkata padaku; Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Alqur’an..!”. Berkata Zaid: “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw?”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga iapun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Alqur’an”. (Shahih Bukhari hadits no.4402 dan 6768). Riwayat ini juga dikemukakan oleh Imam Bukhori dalam Shohih-nya jilid 4 halaman 243 mengenai pengitaban ayat-ayat suci Al-Qur’an. Penulisan Alqur’an selesai dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Alqur’an kini dikenal dengan nama Mushaf Utsmani, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu.
Jelaslah sudah, baik Abu Bakar, ‘Umar maupun Zaid bin Tsabit [ra] pada masa itu telah melakukan suatu cara yang tidak pernah dikenal pada waktu Rasulallah saw masih hidup. Bahkan sebelum melakukan pengitaban Al-Qur’an itu Khalifah Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sendiri masing-masing telah menolak lebih dulu, tetapi akhirnya mereka dibukakan dadanya oleh Allah saw. sehingga dapat menyetujui dan menerima baik prakarsa ‘Umar bin Khattab ra. Demikianlah contoh suatu amalan yang tidak pernah dikenal pada zaman hidupnya Nabi saw.
Secara umum bid’ah adalah sesat karena berada diluar perintah Allah swt. dan Rasul-Nya. Akan tetapi banyak kenyataan membuktikan, bahwa Nabi saw. membenarkan dan meridhoi banyak persoalan yang telah kami kemukakan yang berada diluar perintah Allah dan perintah beliau saw. Hadits-hadits diatas itu mengisyaratkan adanya bid’ah hasanah, karena Rasulallah saw. membenarkan serta meridhoi atas kata-kata tambahan dalam sholat dan semua bentuk kebajikan yang diamalkan para sahabat walaupun Nabi saw. belum menetapkan atau memerintahkan amalan-amalan tersebut. Begitu juga prakarsa para sahabat diatas setelah wafatnya beliau saw.
Darisini kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua bentuk amalan-amalan, baik itu dijalankan atau tidak pada masa Rasulallah saw. atau zaman dahulu setelah zaman Nabi saw. yang tidak melanggar syariát serta mempunyai tujuan dan niat mendekatkan diri untuk mendapatkan ridha Allah swt. dan untuk mengingatkan (dzikir) kita semua pada Allah serta Rasul-Nya itu adalah bagian dari agama dan dapat diterima.
Sebagaimana hadits Rasulallah saw.:
اِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالْنـِّيَّاتِ وَاِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى, فَمَنْ كَانَتْ
هجْرَتُهُ الَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ اِلى اللهِ وَرَسُوْلِهِ
(رواه البخاري
‘Sesungguhnya segala perbuatan tergantung kepada niat, dan setiap manusia akan mendapat sekadar apa yang diniatkan, siapa yang hijrahnya (tujuannya) karena Allah dan Rasul-Nya, hijrahnya itu adalah karena Allah dan Rasul-Nya (berhasil)’. (HR. Bukhori).
Sekiranya orang-orang yang gemar melontarkan tuduhan bid’ah dapat memahami hikmah apa yang ada pada sikap Rasulallah saw. dalam meng- hadapi amal kebajikan yang dilakukan oleh para sahabatnya sebagaimana yang telah kami kemukakan dalil-dalil haditsnya tentu mereka mau dan akan menghargai orang lain yang tidak sependapat atau sepaham dengan mereka.
Tetapi sayangnya golongan pengingkar ini tetap sering mencela dan mensesatkan para ulama yang tidak sepaham dengannya. Mereka ini malah mengatakan; ‘Bahwa para ulama dan Imam yang memilah-milahkan bid’ah menjadi beberapa jenis telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi kaum Muslim untuk berbuat segala macam bid’ah ! Kemudian mereka ini tanpa pengertian yang benar mengatakan, bahwa semua bid’ah adalah dhalalah (sesat) dan sesat didalam neraka!”. Saya berlindung pada Allah swt. atas pemahaman mereka semacam ini.
Wallohu a’lam bishshowab
http://warkopmbahlalar.com/penjabaran-mengenai-bidah-hasanah-dan-dholalah-lengkap-insyaalloh.html
Langganan:
Postingan (Atom)